Opini Muh Imran Tahir
Pemetaan Bahaya Tsunami untuk Membangun Budaya Sadar Bencana
Pulau Sulawesi juga wilayah yang rawan akan kejadian tsunami baik yang bersumber dari subduksi lempeng dan sesar di Pulau Sulawesi sendiri.
BMKG pada tahun 2021 telah memulai pemodelan dan survei dan pemetaan bahaya tsunami. Survei dan pemetaan bahaya tsunami terutama difokuskan pada wilayah pesisir yang memiliki sejarah dan potensi terdampak tsunami.
Untuk wilayah propinsi Sulawesi Selatan tercatat sudah 4 kabupaten yang telah memiliki peta bahaya tsunami dengan skala
kecamatan.
Diantaranya Kab. Bulukumba, Jeneponto, Bantaeng dan Kab. Pinrang.
Diharapkan kedepan kerjasama dengan Pemerintah Daerah khususnya Badan Penanggulangan Daerah (BPBD) di tiap kabupaten dapat terus bersinergi dan melanjutkan survei dan pemetaan bahaya tsunami sehingga semua kecamatan di tiap kabupaten/kota memiliki peta bahaya tsunami.
Sebagai contoh di Kab. Jeneponto, dari 8 kecamatan yang berada di pesisir, saat ini baru 3 kecamatan yang memiliki peta bahaya tsunami dan sudah dilaksanakan survei bersama dengan BPBD setempat.
Dari hasil kajian Peta Bahaya Tsunami, untuk kab. Jeneponto potensi ketinggian maksimum gelombang tsunami mencapai 6 meter dengan inundasi atau daerah terdampak dari bibir pantai sejauh 1800 m.
Untuk Kab. Bantaeng potensi ketinggian maksimum gelombang tsunami mencapai 3 meter dengan inundasi atau daerah terdampak dari bibir pantai sejauh 700 m.
Sedangkan untuk Kab. Bulukumba memiliki potensi ketinggian gelombang tsunami 10 m dengan inundasi atau daerah terdampak dari bibir pantai sejauh 912 m. Skenario sumber pembangkit tsunami untuk kab. Jeneponto dan kab. Bulukumba berasal dari Sesar naik Flores sedangkan untuk kab. Bulukumba berasal dari sesar Selayar.
Masyarakat yang berdomisili di pesisir cenderung menciptakan pranata sosial yang dinamis mengikuti kondisi geografis.
Pranata sosial ini selanjutnya menciptakan kearifan lokal yang terbentuk dan diwariskan secara turun temurun termasuk bagaimana merespon dan melakukan mitigasi bencana alam yang pernah terjadi sebelumnya.
Dalam perspektif bencana tsunami, masyarakat pesisir pada dasarnya sudah memiliki alarm alami ketika tsunami akan menerjang kawasan pesisir dan pantai.
Sebagai contoh kearifan lokal Smong di pulau Simeulue membuat minimnya jumlah korban akibat tsunami pada tahun 2004 saat berbagai negara yang terkena tsunami korbannya mencapai ribuan. Di Pariaman ada tradisi bernama “hoyak tabuik” (prosesi mengguncang patung Tabot), adanya penanaman tanaman cemara dan mangrove di pesisir pantai untuk mengurangi hembasan gelombang tsunami.
Kearifan lokal yang lainnya masih banyak kita kenal di masyarakat indonesia. Namun demikian, kearifan lokal saja dalam upaya mitigasi bencana tsunami tentu belum cukup karena dinamika serta fenomena bencana alam khususnya tsunami terkadang memiliki karakteristik dan pembangkit yang tidak melulu karena gempabumi kuat yg berlokasi di laut.
Sebagai contoh tsunami selat sunda yang menerjang pantai Anyer Banten tahun 2018 yang diakibatkan oleh erupsi anak Krakatau.
Erupsi anak Krakatau dikonfirmasi menyebabkan longsoran bawah laut sehingga terjadi pergerakan massa air laut ke pesisir pantai Anyer dan menyebabkan korban jiwa.