Opini Tribun Timur
Antara Sampah Plastik dan Limbah Detergen
Di suatu sore yang cerah. Cahaya mentari benderang menyisir bangunan-bangunan, pepohonan, dan segala yang menjengul di dataran bumi ini.
Dan terakhir; bahan surfaktan (ABS) juga dapat menyebabkan biota sungai dan laut mengalami mutasi gen.
Itu baru dampaknya pada lingkungan, lain cerita bagaimana keburukan detergen pada kita, manusia.
Lagi, dilewarkan dari website resmi Kabupaten Pati bahwa bahan surfaktan (LAS) di dalam detergen dapat menyebabkan permukaan kulit menjadi kasar, hilangnya kelembapan alami dan meningkatkan permeabilitas permukaan kulit.
Kemudian bila detergen sampai masuk dalam tubuh kita, maka mampu mempengaruhi kerja hormon pada tubuh.
Sehingga dapat mengakibatkan masalah pada kemampuan reproduksi (pria – penurunan jumlah dan kualitas sperma), asma, penyakit kulit, alergi dan bahkan kanker hati. Selanjutnya adalah mengiritasi sistem pernapasan manusia dan dapat menyebabkan mual.
Disela-sela kontemplasi saya di sebelah Ismail, tiba-tiba pikiran saya berkelebat di sungai kecil yang terletak di suatu kampung.
Beragam jenis ikan bisa kita lihat di sungai kecil itu, bahkan kita bisa memancingnya sebagai menu santapan keluarga.
Saat itu kampung masih sepi, satu rumah dengan rumah lainnya berjarak cukup jauh.
Hasil panen penduduk dari berkebun cokelat cukup melimpah. Sementara ada sungai kecil itu yang setiap saat menyediakan ikan-ikan segar, dan hampir setiap halaman rumah penduduk ada sebidang kebun yang menghidangkan sayur mayur.
Apa lagi yang mau dirisaukan oleh penduduk kampung itu kalau sudah begini? Selain merawat dan menjaga kebun cokelatnya dari hama. Maka tak heran, sebagian besar penduduk telah menginjakkan kaki di Tanah Suci Mekkah.
Kehidupan seperti itu hanya berlangsung beberapa tahun saja, tidak lama. Karena hasil panen kebun cokelat yang melimpah di kampung itu segera terdengar oleh orang-orang di seberang lautan. Siapa yang tidak tergiur dengan harta benda yang melimpah.
Akhirnya mereka berdatangan. Semakin lama kampung itu dipadati oleh orang-orang, rumah-rumah tidak lagi berjarak seperti dulu. Saban hari ada saja serangkaian limbah detergen yang mengalir dari parit rumah-rumah.
Aktivitas di kampung itu menjadi tergesa-gesa. Sementara sungai kecil itu, perlahan airnya berubah menjadi putih kebiru-biruan, ikan-ikan tak lagi beragam.
Jangankan untuk menjadikan salah satu lauk santapan keluarga, melihat ikan-ikan di sungai kecil itu saja begitu sulit.
Sampai di sini, saya rasa ada pembaca yang muak dengan tulisan semacam ini. Tapi mau bagaimana lagi kenyataan menggelisahkan ini perlu saya utarakan walau hanya sebatas di kepala saya kala itu.