Opini Abdul Gafar
Kekerasan
Kekerasan telah menjadi bagian dari sisi kehidupan manusia di muka bumi ini, tanpa melihat perkembangan kebudayaannya.
Oleh: Abdul Gafar
Dosen Purnabakti Ilmu Komunikasi
Unhas Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Kekerasan telah menjadi bagian dari sisi kehidupan manusia di muka bumi ini, tanpa melihat perkembangan kebudayaannya.
Pada masyarakat yang masih dianggap primitif, berkembang, dan sudah maju persoalan kekerasan sesungguhnya sama saja, hanya beda dari segi cara dan pelaksanaannya.
Beberapa waktu lalu, Kapolsekta Tallo Makassar Kompol Badollahi, SH, MAP beserta rombongan mengadakan bincang-bincang santai dengan tokoh masyarakat sekelurahan Suangga di kediaman penulis.
Di tempat ini, selalu diadakan kegiatan yang berkaitan dengan berbagai hal, termasuk ketika dijadikan lokasi TPS pilpres, pilgub, pilwalkot, pileg hingga pemilihan Ketua ORW dan ORT.
Bincang-bincang malam itu berlangsung dalam suasana kekeluargaan dan terlihat sangat santai.
Pertemuan itu dimediasi oleh Ketua ORT 3 ORW 5 Abdul Rahmat Lodjong dan Ir Andi Emil Salim mantan Ketua LPM Tallo kepada penulis beberapa hari sebelumnya.
Rupanya sang Kapolsek pernah bertugas sebelumnya di wilayah Tallo sehingga sudah memiliki gambaran bagaimana kondisi masyarakat di situ.
Wilayah tempat tinggal penulis memang sudah sering menjadi target sasaran dari aparat keamanan.
Pengerahan pasukan ke tempat itu sudah menjadi santapan biasa dari warga masyarakat. Dahulu, letupan senjata api dianggap sebagai ‘penyemarak’ saja ketika terjadi ‘kunjungan’ aparat ke lokasi tersebut.
Kekerasan ada di mana-mana dan dapat menimpa siapa saja.
Mulai dari orang sipil maksudnya rakyat kebanyakan hingga yang berseragam macam-macam dapat menjadi korban kekerasan.
Boleh saja ia anak-anak, remaja hingga dewasa, apakah ia berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Mulai dari kekerasan yang bentuknya ringan-ringan hingga yang terberat.
Ada kasus yang mudah terungkap dalam waktu singkat, namun ada juga yang memakan waktu berlama-lama atau sengaja dilama-lamakan ?
Kekerasan dapat menimpa siapa saja, begitu pula kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja.
Warga sipil bisa saja melakukan tindakan kekerasan terhadap orang yang berseragam.
Sebaliknya orang berseragam dapat juga melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Artinya, kekerasan memang merupakan bagian dari lingkaran kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya dapat ‘memaksakan’ sesuatu kepada warga negara.
Bila warga negara melakukan pembangkangan, maka negara dapat melakukan tindakan yang menghukum atas tindakan itu.
Terjadinya potensi konflik antara negara dengan warga negara, biasa diakhiri dengan kekerasan.
Kegiatan masyarakat yang awalnya tenang-tenang dan kondusif mudah terpicu dari kedua belah pihak lewat ‘jasa’ provokator.
Semakin seru suasana konflik semakin senanglah para provokator.
Tetesan darah yang berserakan hingga nyawa turut melayang dapat menentukan besaran dana yang diperolehnya.
Begitukah ? Hari ini dan hari-hari sebelumnya, nyawa manusia begitu mudahnya ‘lepas’ secara paksa di belahan timur negeri ini.
Daerah yang secara geografis mengandung sumber kekayaan alam yang sangat berlimpah menjadi wilayah pertaruhan nyawa.
Sudah banyak korban di daerah itu. Tidak saja warga sipil, tetapi juga aparat bersenjata turut menjadi santapan serangan sporadis dari penyerang yang ‘hanya’ dinamai Kelompok Kriminal Bersenjata.
Tampaknya negara belum mampu meredam aksi kekerasan di sana. Hal ini juga terjadi karena adanya ‘musuh dalam selimut’ yang turut bermain dalam menyuplai amunisi dan senjata kepada kelompok ini.
Pertaruhan antara idealisme membela negara dan bangsa ini dengan imbalan dana yang cukup besar dan menggiurkan turut melelehkan nasionalisme.
Kasus terkini, terjadi penembakan sesama aparat yang menewaskan satu orang di Jakarta.
Diduga terjadi pelecehan seksual yang berakhir tragis. Kita tunggu hasilnya. (*)