Citizen Reporter
Hajjah Lutfiah Hamid: Suamiku Tak Pernah Tertarik Poligami, Setia Hingga Akhir
Muhammad Rani Daeng Tangga dimakamkan di tempat kelahirannya, di Pekuburan Keluarga Paccikong Baja, Labakkang, Pangkep, 11 Juli 2022
Oleh: M Saleh Mude
Pengurus KKSS
Melaporkan dari New York
TRIBUN-TIMUR.COM - Ini adalah kisah rumah tangga yang inspiratif.
Kisah perjalanan 51 tahun rumah tangga Ibu Hajjah Lutfiah Hamid dan suaminya, Almarhum Drs Haji Muhammad Rani Daeng Tangnga dapat menjadi patron atau tempat bercermin bagi banyak pasangan rumah tangga, minimal oleh anak-cucu mereka yang terdiri dari 7 putra-putri (1 wafat) dan 19 cucu.
Kisah suka-duka itu terungkapkan kemarin malam melalui media Zoom yang dipandu oleh Helmi Ayuradi Miharja, M Saleh Mude, dan kawan-kawan.

Zoom juga diisi pemateri Tauziyah oleh Prof Dr Hafid Abbas, Ketua Senat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan pembacaan doa dipandu oleh Dr Muhammad Zain, Direktur Tenaga Guru dan Kependidikan Madrasah Kementerian Agama RI, Jumat malam, 15 Juli 2022, waktu Amerika dan Sabtu pagi, 16 Juli 2022, waktu Indonesia.
“Kami menikah di Makassar, 20 Juli 1971, saya berumur 19 dan suami saya, Almarhum Muhammad Rani Daeng Tangnga 24 tahun,” kata Lutfiah Hamid.
Menurut Lutfiah Hamid, Muhammad Rani Daeng Tangnga hanya melihat dia sekali dan langsung mengutus kakeknya untuk melamar.
“Saya selalu bersyukur dan membanggakan suami saya karena dia tergolong suami yang setia, tinggi perhatian dan kepedulian pada keluarga, tidak pernah selingkuh atau mendua, tidak pernah tertarik untuk berpoligami, rajin bekerja sebagai pegawai negeri sipil hingga pensiun, dan tegas dalam mendidik anak-anak kami,” jelas Lutfiah Hamid.
Pada sisi lain, lanjut Lutfiah Hamid, Muhammad Rani Daeng Tangnga tipe suami yang unik, tidak tahu memasak apa pun, semuanya harus dilayani atau full service, mulai disiapkan makanan dan minumannya di meja makan hingga baju dan celana kantornya.
“Ketika beliau sudah pensiun dari Kantor Wilayah Koperasi Provinsi Sulawesi Selatan, ia sering ikut dengan setia pada kegiatan-kegiatan saya, misalnya di rapat dan pertemuan saya dengan teman-teman atau komunitas saya. Jika ia tidak ikut maka setiap saat atau sepanjang jalan, saya harus angkat teleponnya, dia banyak tanya, mama sudah di mana? Apa sudah melewati jalan ini? Dan berbagai pertanyaan sepanjang jalan,” urai Lutfiah Hamid dengan suara terisak.
“Suamiku adalah orang saleh, taat beribadah, ketika tiba waktu shalat, dia pasti bangun sholat, dan sehari sebelum wafat, beliau masih sempat memegang tali dan menyerahkan hewan korbannya ke Panitia hewan kurban di Masjid kami. Esoknya, dia merasa rahang kiri-kanannya sakit dan bengkak. Kami bawa ke dokter di Rumah Sakit Hermina Makassar. Beberapa jam kemudian, beliau wafat di umur 74 tahun,” kata Lutfiah Hamid.
Dia dan anak-anak serta cucu dan kerabat mengaku ikhlas dengan kepergian Muhammad Rani Daeng Tangnga untuk selamanya.
“Kami merelakan dengan duka yang mendalam. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Tiba saatnya, suamiku dipanggil dan diambil oleh Pemiliknya, Allah Swt,” kata Lutfiah Hamid.