Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Irwan SAg

Tallu Cappa sebagi Benteng Moral

Beberapa pekan terakhir kita disuguhi berbagai informasi di berbagai media tentang kasus kekerasan seksual.

TRIBUN TIMUR
Logo Tribun Timur 

Oleh: Irwan SAg
Mengajar di MA DDI Nurussalam, Lassa-lassa, Gowa.

TRIBUN-TIMUR.COM - Beberapa pekan terakhir kita disuguhi berbagai informasi di berbagai media tentang kasus kekerasan seksual. Kasus terbaru adalah seorang motivator terkenal dan pendiri SMA Selamat Pagi.

JEP ditetapkan sebagai tersangka atas perlakuan tindak kekerasan seksual kepada anak didiknya yang berjumlah kurang lebih 40 orang.

Di antara korbannya adalah anak yatim yang seharusnya diayomi malah diperlakukan tidak senonoh.

Laporan kasus Julianto Eka Putra berawal dari laporan pihak Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) ke Polda Jatim pada 29 Mei 2021.

Namun baru viral setelah 2 korbannya menjadi tamu di podcast Dedy Corbuzier Rabu (6/7/2022).

Tentu kita semua tidak mengamini apa yang dilakukan oleh JEP sebagai seorang guru, pebisnis dan motivator.

Kata-kata motivasi yang keluar dari mulutnya nampaknya tidak bisa membendung syahwat yang sudah bergeser ke ubun-ubun.

Kita juga berharap JEP dan para pelaku kekerasan seksual lainnya dihukum sesuai dengan perbuatannya.

Di media sosial tweeter banyak yang berharap para predator seksual dikebiri atau hukuman mati.

Netizen boleh berharap demikian namun penentu kebijakan ada diujung ketuk palu para hakim.

Sebagai orang Makassar kita perlu untuk menelaah kembali falsafah moral tu riolota. Falsafah moral ini selayaknya selalu menjadi benteng untuk menghalau serangan-serangan pikiran negatif yang mengarah kepada perilaku yang tidak sesuai dengan Pangngadakkang.

Masih ingatkah kita dengan falsafah Tallu Cappa’?

Yah Tallu Cappa’ atau 3 ujung menjadi warisan tu riolota yang harus dilestarikan sebagai cara pandang dan cara berperilaku kita.

Cappa’ tallu yang dimaksud adalah cappa’ lila (ujung lidah), cappa’ badik ( ujung badik ), dan cappa katauwang ( ujung kemaluan ).

Dalam ajaran Islam ada petunjuk bagi umat manusia agar senantiasa menjaga ucapannya.

Karena banyaknya kejahatan yang terjadi salah satunya lewat pintu lila ( lidah atau mulut ).

Rasulullah s.a.w berpesan dalam sabdanya “man kana yu’minu billahi wal yaumil akhir fal yaqul khairann au liyashmut” (HR Bukhari Muslim ).

Artinya siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia berkata baik atau diam.

Pesan kemanusiaan dari Nabi tentunya sangat selaras dengan pappassang tu riolota ( petuah para
pendahulu ).

Jadi dalam menjaga kehidupan yang tetap harmoni sudah selayaknya kita masing-masing menjaga lisan agar tidak menyakiti perasaan orang lain.

Selanjutnya adalah cappa’ badik ( ujung badik ). Badik adalah simbol kejantanan bagi tu bura’ne Makassar.

Dahulu setiap laki-laki biasanya membawa badik yang disimpan dipinggang kiri.

Bahkan ada yang menganggap bahwa badik bisa menambah aura kelaki-lakian seseorang (erang kaburukneang).

Namun seiring berkembangnya zaman pemakaian badik sudah jarang dijumpai di kalangan laki-laki.

Terutama mereka yang sudah berpendidikan dan mendalami ilmu agama.

Dahulu badik dipakai atau keluar dari sarungnya ketika seseorang dilanggar harga dirinya (siri' ) atau keluarganya.

Bawakuji akkaraeng, punna nipakasirika badikku tena na akkaraeng (hanya mulutku yang mempertuan, tapi jika harga diriku tersinggung badikku tidak bertuan).

Kalimat ini adalah kontrol individual sekaligus sosial agar menggunakan badik (simbol pertahanan) sesuai dengan tempat dan keadaannya.

Cappa’ ketiga adalah cappa’ katauwang (ujung kemaluan). Permasalahan seputar kekerasan seksual akhir-akhir ini sangat trend.

Selama setahun terakhir, tindak kriminal itu banyak dilakukan keluarga atau orang dekat korban.

Sejak awal 2022, menurut Hasto, kasus kekerasan seksual mengalami tren meningkat dan LPSK telah mendapatkan 400 laporan korban, baik perempuan maupun anak-anak.

Belakangan ini, tren yang naik adalah kekerasan seksual kepada perempuan maupun anak.

Hal yang sangat miris dan menyayat perasaan siapa saja yang masih berpikiran normal.

Betapa tidak para pelaku dalam kesehariannya ada yang pemuka agama,ustadz,guru ngaji, mantan anggota DPRD dan motivator.

Dan para korban seakan tidak punya kekuatan untuk membawa kasus ini ke penegak hukum.

Bahkan ada pelaku yang kemudian jadi tersangka setelah kasusnya viral di media sosial. Pelaku ada yang bebas berkeliaran sementara korbannya ada yang mengurung diri karna trauma atau gangguan psikologis lainnya.

Lalu apakah orang Makassar hingga saat ini masih bisa menjaga ketiga cappa’ di atas? Apakah tallu cappa’ masih relevan di tengah banyaknya krisis moral yang melanda sebagian orang? Di tengah majunya arus digitalisasi yang menghilangkan sekat jarak dan waktu.

Kita begitu mudah menonton hal-hal berbau pornografi di media sosial.

Tontonan tersebut bisa mempengaruhi alam bawah sadar seseorang sehingga tanpa sadar bisa berakibat dari kurangnya kontrol diri.

Tentu inilah yang menjadi tanggung jawab bersama untuk membumikan tallu cappa' tersebut di atas.

Falsafah tallu cappa’ seharusnya dijalankan bersama tanpa melihat strata sosial seseorang.

Jangan karena sudah berpendidikan atau berpangkat tinggi lantas tallu cappa' ini malah tergerus.

Jangan juga karena menganggap diri tidak punya pendidikan tinggi atau tidak berpangkat mentereng lalu acuh tak acuh menganggap lisan,badik dan kemaluan tidak perlu dijaga. Eja tong pisseng na doang.

Kaitannya dengan cappa katauwang dalam QS an-Nur ayat 30 Allah swt mewanti-wanti hamba-Nya agar selalu bersikap menjaga diri ketika bergaul dengan lawan jenis.

Isi ayat tersebut adalah “Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki: hendaklah mereka itu menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya.”
Ayat di atas memposisikan tau bura’ne (kaum laki-laki) sebagai subjek. Ayat ini juga hanya memposisikan laki-laki dalam kategori beriman.

Kenapa? Dalam pandangan Qurani hanya laki-laki berimanlah serta yang berbudayalah yang bisa menjaga cappa katauwang-nya.

Tentu ayat ini juga mengkritisi mereka yang pandai memoles dirinya dengan make up agamis namun perilakunya masih sering mengumbar hawa nafsu.

Bukankah akhir-akhir ini para predator seksual terlihat cukup agamis?

Atau paling tidak pekerjaannya tidak jauh dari ruang lingkup agama.

Membumikan tallu cappa’; bisa diajarkan sejak usia dini. Bagaimana anak usia didik diajarkan untuk selalu berucap hal-hal yang positif.

Di usia remaja cappa’ badik disosialisasikan sebagai bagian dari siri. Di usia ini rentan terjadi gap antar remaja hanya karena hal-hal sepela.

Badik untuk usia remaja tidak dianggap sebagai “senjata”, untuk melukai orang lain yang berbeda paham.

Tapi badik harus ditekankan bahwa itu benda sakral yang hanya orang dewasalah yang bisa membawanya.

Cappa’katauwang bisa berfungsi sebagai sex education.

Di tengah maraknya pelecehan seksual, anak-anak kita perlu pembekalan dari rumah bahwa daerah kemaluan itu adalah wilayah privasi.

Tidak boleh orang lain menyentuhnya ataupun sebaliknya tidak boleh menyentuh kemaluan orang lain.

Perlu juga pendekatan dari sisi kesehatan bahwa di usia remaja daerah Cappa’ katauwang perlu diperhatikan kebersihannya.

Sebagaimana pesan Nabi yang berbunyi: Bersuci (thaharah) itu setengah daripada iman." (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi). Dalam hadits lain disebutkan: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada lima macam fitrah, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak." (HR. Bukhari dan Muslim).

Di sini kita bisa melihat keselarasan antara Al Quran, Pesan Nabi dan Pappasang tu riolo dalam membentengi diri dari perilaku negatif.

Jadi tidak ada asalan untuk tidak membumikan kembali falsafah tallu cappa’ dalam melakoni kehidupan kita masing-masing.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved