Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Asriyadi

Membedah dan Meluruskan Makna Politik Identitas

Kondisi ini didasarkan pada kultur masyarakat Indonesia yang memiliki sentimen agama yang sangat kuat.

TRIBUN TIMUR
Logo Tribun Timur 

Ketika tahun politik berlalu simbol agama kembali ditanggalkan, “menjual agama” hanya untuk kepentingan politik sesaat.

Seorang yang berprofesi sebagai tokoh agama atau kesehariannya memiliki keperdulian terhadap agama dan terbiasa dengan simbol agama kemudian masuk dunia politik menjadi aktor politik, tidak patut dicap melakukan politik identitas saat mensosialisasikan kepada masyarakat dengan simbol-simbol agama yang melekat pada dirinya.

Aktor politik yang berlatarbelakang pemuka agama (Ulama, Ustadz, Romo, Pendeta, Pandita, Bhiksu, dll) yang menyasar masyarakat atau komunitas keagamaan tidak sertamerta dapat dicap sebagai politik identitas.

Sekali lagi, politik identitas itu hadir ketika aktor politik tertentu mengajak publik mendukungnya karena apa yang melekat pada dirinya (menggunakan sentiman suku, agama, ras, dan antar golongan).

Sebaliknya, masyarakat (konstituen) yang menentukan pilihan politiknya yang didasarkan pertimbangan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) juga tidak dapat dikategorikan melakukan politik identitas.

Warga negara yang menentukan pilihan politik yang disadarkan kesamaan apa Tribun: yang melekat pada dirinya (kesamaan suku, agama, ras, dan antar golongan) adalah hak azasi yang dilindungi oleh negara sepanjang tidak memaksakan orang lain melakukan hal tersebut.

Janji-janji politik yang terkait program kerja dalam bentuk peningkatan kapasitas tokoh agama, lembaga keagamaan, suku/etnis dan gender yang ditawarkan oleh actor politik kepada pubik dalam kampaye pemilu tidak dapat dikategorikan politik identitas.

Keliru bila ada yang mengeneralisasi seluruh kegiatan politik yang menggunakan simbol agama atau etnis dianggap sebagai politik identitas.

Diperlukan analisa dan data yang cukup untuk ‘menghakimi’ kegiatan atau aktifitas aktor politik masuk ke dalam kategori politik identitas atau tidak.

Perlu adanya indentifikasi kategori politik identitas yang memenuhi unsure profiling sang aktor, ajakan/promosi (sikap, pernyataan dan perbuatan) misalnya penggunaan dalil-dalil kitab suci agama sebagai pembenaran untuk memilih sang aktor dan ajakan untuk dipilih karena seagama (kesamaan agama), seetnis (kesamaan etnis), atau kesamaan suku atau kesamaan jenis kelamin.

Politik identitas bukan hal yang baru dalam politik Indonesia, masa Orde Baru isu politik identitas menguat jelang pemilu tetapi dapat dikontrol dan dikendalikan oleh pemerintah.

Pencalonan presiden dan penetapan calon menteri di masa Orde Baru memunculkan gonjang ganjing, apa suku-etnis capres dan cawapres, apakah ia orang jawa atau non jawa, apakah beragama Islam atau non Islam.

Ketika penyusunan kabinet, public secara diam-diam menghitung berapa banyak orang Islam dan beragama lain, berapa banyak orang jawa dan suku-suku lainnya yang duduk dalam kabinet.

Tentu, kisah politik masa lalu ini tidak diinginkan terulang kembali, sebab pemerintahan terpilih yang didasarkan pada penggunaan politik identitas dapat berdampak pada representasi secara simbolik akan hegemoni agama tertentu atas agama yang lain, suku atau etnis tertentu terhadap suku yang lain, sentimen daerah tertentu atas daerah yang lain dan gender yang satu dengan lainnya. Hal ini akan merusak tatanan sosial masyarakat, merusak kohesi sosial dan mengancam eksistensi negara.

Untuk itu, meskipun politik identitas tidak dapat dilarang secara hukum, penting dan mendesak adanya pengelolaan, kode etik, dan pengawasan agar penggunaan politik identitas tidak kebablasan, tidak mempertajam perbedaan, tidak memicu konflik sosial, tidak menggiring kelompok masyarakat saling berhadap-hadapan, tidak mempertebal semangat primordialisme agama, etnis/suku dan ekonomi, tidak melahirkan kekuasaan fasis oleh kelompok yang berkuasa menindas kelompok oposisi, rakyat diperlakukan setara (equality before the law), tidak menghilangkan sense of crisis atas penderitaan rakyat, dan yang terburuk tidak menghancurkan rasa kebhinekaan.

Jangan sampai terjadi adanya sebuah kelompok sosial yang merasa teriintimidasi dan didiskriminasi yang pada akhirnya merusak rasa kebangsaan kita sebagai bangsa yang menghargai dan menjunjung tinggi kebhinekaan.(*)

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved