Opini Asriyadi
Membedah dan Meluruskan Makna Politik Identitas
Kondisi ini didasarkan pada kultur masyarakat Indonesia yang memiliki sentimen agama yang sangat kuat.
Tindakan, pernyataan, dan simbol-simbol keagamaan bila digunakan oleh aktor politik dalam satu agenda pertemuan di basis masing-masing agama akan memberikan ikatan moril dan psikologis yang kuat antara masyarakat dengan aktor politik.
Aktor politik tersebut merasa penuh percaya diri mendapatkan dukungan dan simpatik masayarakat.
Hal inilah yang menyebabkan politik identitas tidak akan pernah hilang dalam ruang politik Indonesia maupun di negara – negara maju sekalipun.
Sejarah lahirnya politik identitas bukan hal yang buruk sebagaimana yang diduga kebanyakan orang (sebaliknya bemakna positif), di beberapa negara belahan bumi politik identitas adalah perjuangan dan perlawanan.
Sejarah politik Amerika Serikat diwarnai politik identitas berdasarkan etnis dan rasial, perempuan kulit hitam berjuang menghadapi penindasan dari kulit putih.
Politik identitas rasial atau etnokultural orang Arab dan non-Arab terjadi antara negara – negara Arab dengan Turki, Iran, dan negara-negara Afrika Utara.
Di Selandia Baru, politik identitas rasial Maori berlawanan dengan Pakeha, di Australia politik identitas etnokultural orang kulit putih mendominasi dan menindas suku Aborigin.
Di Negara-negara Barat, politisi atau aktor politik bersama gerakan masyarakat sipil melakukan gerakan politik identitas dengan mengorganisir kelompok yang ditindak oleh negara dengan memperjuangkan hak-hak wanita, gerakan kebebasan hak-hak sipil kulit hitam, kebebasan menjalankan agama, termasuk perjuangan gerakan kelompok LGBT.
Mereka tidak disebut politik identitas dalam arti negatif atau buruk.
Penggunaan politik identitas, pilihan proritas diantara banyak cara berkampanye (political marketing) karena telah terbukti efektif dan efisien dalam menarik dukungan atau simpatik masyarakat.
Namun penggunaan politik identitas tidak selamanya menguntungkan, sangat tergantung entitas mana politik identitas itu digunakan, aktor politik yang salah dalam menggunakan politik identitas justru akan merugikan dirinya sendiri.
Begitu juga tidak semua masyarakat suka dan senang dengan penggunaan politik identitas bahkan ada yang menganggap hal yang ‘menjijikkan’.
Masyarakat kelas menengah atas dalam pendidikan dan sadar politik cenderung tidak perduli dan tidak terpangaruh dengan gaya politik identitas.
Oleh karenanya politik identitas umumnya hanya menyasar kalangan masyarakat berpendidikan rendah dan masyarakat yang belum sadar politik (korban politisasi) yang rentan tertipu dan temakan opini hipokrit sang aktor politik.
Aktor politik yang dimaksud ialah aktor yang kesehariannya berbeda saat memasuki tahun politik, mereka menggunakan simbol agama (jilbab, kopiah, sorban, tanda salib), bakti sosial di tempat ibadah, tetiba terliihat rajin keluar masuk mesjid atau gereja dan video – foto dirinya yang bernuasa agama dipublikasikan.
