Opini Abdul Karim
Bangsa Haji
Pada Senin, 9 Juli 1888, pukul 02.00 dini hari, sekitar 100 orang pemberontak bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja menyerang rumah Henri Francois
Oleh: Abdul Karim
Majelis Demokrasi dan Humaniora
TRIBUN-TIMUR.COM - Seharusnya bangsa ini tak lagi terjajah oleh bangsa luar dengan skema penjajahan modern, sebab sejak abad 19, bangsa ini sukses melawan penjajah dengan komando para haji negeri.
Pemberontakan Petani Banten, tahun 1888 salah satu contohnya.
Pada Senin, 9 Juli 1888, pukul 02.00 dini hari, sekitar 100 orang pemberontak bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja, menyerang rumah Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor asisten residen.
Ada pula Haji Wasid, pemimpin utama melawan Kolonial. Ia membagi pasukannya menjadi tiga pasukan.
Pasukan pertama dipimpin Lurah Jasim, seorang jaro Kajuruan, pasukan kedua dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman, dan pasukan ketiga dipimpin Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman.
Di tahun 1945, kita kenal sebuah nama, KH. Hasyim Asyari yang menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945. Dengan fatwa itu, pecahlah perang di Surabaya pada 10 November 1945.
Kini, adakah sosok haji pemberani melawan kolonial gaya modern? Nyaris tak kita temukan itu.
Para haji pemimpin ummat dimasa kini, sedang sibuk dengan urusannya sendiri bersama kaumnya.
Seharusnya negeri ini tak perlu dirundung pertengkaran lantaran perbedaan amalan dan pandangan keagamaan.
Sebab, beberapa abad lalu, sejumlah generasi bangsa ini berhaji seraya menuntut ilmu agama di Mekkah, lalu kembali dengan tumpukan ilmu agama yang relevan dengan kondisi ummat dan negeri. Sebut misalnya KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy'ari, pendiri NU.
Kehadiran kedua tokoh ini, tak kurang akan ilmu agama dengan segala perangkatnya. Kekayaan ilmu agama mereka, tak dipungkiri sebagai penopang bangsa ini.
Jangan lupa, mereka adalah haji.
Seharusnya dinegeri ini tak berbunyi aspirasi negara Islam, karena perumusan Pancasila itu jugu turut terlibat sejumlah tokoh Islam yang telah berhaji (terutama dari NU dan Muhammadiyah).
Teladan-teladan haji itu, harusnya menular ke generasi kini.
Mereka tak saja menunaikan rukun Islam, tetapi mereka pun menunaikan tugas kebangsaan.
Kini kehajian pelan-pelan berubah. Kita simak dengan mata terang yang seringkali viral, bagaimana kalangan elit berhaji tak lepas dari konsolidasi ekonomi perdagangan atau koalisi politik ditanah suci.
Konon, di sana sering bertemu bakal calon pasangan kandidat pilkada, sesama tim sukses, hingga jejaring donor politik.
Kehajian benar-benar berubah dan bertambah. Tak hanya dilapis atas, dilevel bawah pun begitu. Buku "Aji Ugi", karya Syamsurijal Adhan (2020) menangkap perubahan-perubahan itu dilapangan bawah penelitiannya.
Di kawasan Sigeri, kabupaten Pangkep, Syamsurijal menemukan bagaimana haji tak saja sebagai ibadah, ia juga rupanya sebagai gaya hidup, status, dan berbagai keperluan pragmatis modern lainnya.
Perhajian memang tak berubah, yang berubah adalah cara umat mengapresiasi haji ditengah situasi yang terus berubah.
Dalam bukunya, Syamsurijal menyebutnya sebagai fenomena perjumpaan segitiga; Islam, tradisi dan modernitas.
Dan modernitas banyak memeras realitas. Modernitas inilah yang menetas melahirkan haji sebagai pembeda kelas sekaligus gaya hidup berkelas.
Syamsurijal memetik kenyataan itu dalam karyanya. Konon, disebuah hajatan pernikahan, para pengantar pengantin yang terdiri dari karib-kerabat, dan handaitaulan dimobilisasi melalui pengeras suara.
Diujung Mic, sang MC kurang lebih berkata; "Kepada seluruh pengantar pengantin, beberapa kendaraan telah disediakan. Untuk para Haji dan Hajjah, mobil Kijang Innova telah disediakan. Bagi yang belum berhaji, silahkan naik di mobil truck yang telah disiapkan". Haji dan non-haji menjadi pembeda mencolok. Innova dan truck lah pembedanya. Innova berpendingin AC modern, truck berpendingin udara siang yang terik.
Tetapi Syamsurijal menemukan pula bagaimana berhaji sebagai metode pertaubatan. Disitu dikisahkan, bagaimana "tau lao sala" (seseorang yang perilakunya buruk) berubah menjadi bermoral baik usai berhaji.
"Ada orang yang sekedar fisiknya saja manusia, tetapi tingkah lakunya belum mencerminkan itu. Setelah berhaji, dia betul-betul berubah menjadi manusia, dalam sikap dan tingkah lakunya", kata seorang narasumber di buku "Aji Ugi" itu.
Lalu bagaimana dengan para koruptor negeri, bukankah sebagian diantara mereka juga telah berhaji entah beberapa kali? Tak usah fikir itu. Yang selalu mesti diingat adalah bangsa yang besar adalah bangsa yang banyak hajjinya. (*)