Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Abdul Karim

Bangsa Haji

Pada Senin, 9 Juli 1888, pukul 02.00 dini hari, sekitar 100 orang pemberontak bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja menyerang rumah Henri Francois

zoom-inlihat foto Bangsa Haji
Tribun Timur
Abdul Karim, Majelis Demokrasi & Humaniora Sulsel.

Kini kehajian pelan-pelan berubah. Kita simak dengan mata terang yang seringkali viral, bagaimana kalangan elit berhaji tak lepas dari konsolidasi ekonomi perdagangan atau koalisi politik ditanah suci.

Konon, di sana sering bertemu bakal calon pasangan kandidat pilkada, sesama tim sukses, hingga jejaring donor politik.

Kehajian benar-benar berubah dan bertambah. Tak hanya dilapis atas, dilevel bawah pun begitu. Buku "Aji Ugi", karya Syamsurijal Adhan (2020) menangkap perubahan-perubahan itu dilapangan bawah penelitiannya.

Di kawasan Sigeri, kabupaten Pangkep, Syamsurijal menemukan bagaimana haji tak saja sebagai ibadah, ia juga rupanya sebagai gaya hidup, status, dan berbagai keperluan pragmatis modern lainnya.

Perhajian memang tak berubah, yang berubah adalah cara umat mengapresiasi haji ditengah situasi yang terus berubah.

Dalam bukunya, Syamsurijal menyebutnya sebagai fenomena perjumpaan segitiga; Islam, tradisi dan modernitas.

Dan modernitas banyak memeras realitas. Modernitas inilah yang menetas melahirkan haji sebagai pembeda kelas sekaligus gaya hidup berkelas.

Syamsurijal memetik kenyataan itu dalam karyanya. Konon, disebuah hajatan pernikahan, para pengantar pengantin yang terdiri dari karib-kerabat, dan handaitaulan dimobilisasi melalui pengeras suara.

Diujung Mic, sang MC kurang lebih berkata; "Kepada seluruh pengantar pengantin, beberapa kendaraan telah disediakan. Untuk para Haji dan Hajjah, mobil Kijang Innova telah disediakan. Bagi yang belum berhaji, silahkan naik di mobil truck yang telah disiapkan". Haji dan non-haji menjadi pembeda mencolok. Innova dan truck lah pembedanya. Innova berpendingin AC modern, truck berpendingin udara siang yang terik.

Tetapi Syamsurijal menemukan pula bagaimana berhaji sebagai metode pertaubatan. Disitu dikisahkan, bagaimana "tau lao sala" (seseorang yang perilakunya buruk) berubah menjadi bermoral baik usai berhaji.

"Ada orang yang sekedar fisiknya saja manusia, tetapi tingkah lakunya belum mencerminkan itu. Setelah berhaji, dia betul-betul berubah menjadi manusia, dalam sikap dan tingkah lakunya", kata seorang narasumber di buku "Aji Ugi" itu.

Lalu bagaimana dengan para koruptor negeri, bukankah sebagian diantara mereka juga telah berhaji entah beberapa kali? Tak usah fikir itu. Yang selalu mesti diingat adalah bangsa yang besar adalah bangsa yang banyak hajjinya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved