Opini Muhsin El Shaarawy
Sendal Jepit dan Jalanan Antang yang Menantang
Publik Indonesia sedang ramai memerbincangkan tentang imbauan Korps Lalu Lintas Kepolisian RI perihal sendal jepit. Hal ini dinilai demi keselamatan.
Oleh: Muhsin El Shaarawy
Ketua FLP Unismuh Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - “Tidak ada perlindungan pakai sendal jepit itu, karena kalau sudah pakai motor, kulit itu
bersentuhan langsung dengan aspal, ada api, ada bensin, ada kecepatan.
Makin cepat makin tidak terlindungi kita, itulah fatalitas.” Kepala Korps Lalu Lintas atau Kakorlantas Irjen Pol Firman Santyabudi.
Publik Indonesia sedang ramai memerbincangkan tentang imbauan Korps Lalu Lintas Kepolisian RI perihal sendal jepit. Hal ini dinilai demi keselamatan pengendara motor.
Memang benar, motor apabila mengalami kecelakaan di jalanan akibatnya sangat fatal.
Jatuh sedikit, maka anggota badan akan berbenturan langsung dengan aspal. Kaki lebih mudah mendapatkan cidera.
Sedikit merefleksi ke belakang, imbauan untuk tidak mengenakan sendal saat berkendara motor hampir mirip dengan imbauan memakai helm beberapa tahun yang lalu.
Perlu kesabaran dan proses adaptasi.
Khusus kaum hawa, menganggap memakai helm bungkus sesuatu yang mengganggu sanggul rambutnya.
Tetapi bisa dilihat sekarang, mereka hampir dikatakan 100 persen mengenakan helm saat berkendara.
Segala sesuatu butuh proses. Tidak ada yang salah pada imbauan yang disosialisasikan Polantas di jalan raya.
Semua demi kenyamanan berkendara masyarakat.
Namun jika melihat kondisi jalanan, elemen lain yang sangat berhubungan dengan kendaraan.
Perlu juga rasanya menaruh perhatian pada elemen tersebut, tak hanya sendal jepit yang disoroti.
Berdasarkan data dari Bina Marga yang dirangkum pada 2021 lalu, terdapat sekitar 3.848,15 km kondisi jalan nasional rusak, dan 2.901 km kondisi jalan marginal.
Penyebabnya, air hujan, perubahan suhu, cuaca, temperatur udara, dan yang paling berefek muatan kendaraan-kendaraan
berat yang melebihi kapasitas.
Dari data yang dipublikasikan Bina Marga, bisa dikatakan kualitas infrastruktur jalanan di Indonesia masih perlu perhatian khusus dan beberapa masih di bawah standar.
Paling parahnya lagi jika kerusakan jalan terjadi di tengah kota. Jelas, keindahan dan kemegahan kota ternodai.
Jika ditilik, jalanan rusak berpeluang besar mengundang terjadinya kecelakaan.
Hal yang seharusnya lebih diperhatikan justru terabaikan.
Di Makassar misalnya, sepanjang jalan Antang saat ini sedang tidak baik-baik saja. Masyarakat hampir setiap hari mengeluh.
Kondisinya saat ini menjadikannya jauh lebih eksis dibanding Sudiang.
Jika Sudiang dulu dibully karena jaraknya
yang jauh, kini Antang hadir dengan jalannya yang penuh lubang.
Kondisi jalanan Antang sangat menantang bagi para pengendara. Belum lagi macetnya.
Menjelang Magrib, jalanan ini sangat berlangganan dengan macet. Volume kendaraan yang tinggi setiap harinya sangat tidak mudah dihindari. Kecuali mungkin pada hari libur kerja.
Jalanan berlubang, macet, dan genangan air pada musim hujan. Lengkap sudah penderitaan orang-orang yang beraktivitas di sekitaran Atang. Tetta Sally, penulis Makassar mengekspresikan Antang
melalui tulisannya, “Kita serupa Jalan Antang. Penuh debu, panas, macet, dan berlubang. Semua harus dijalani, meski jalan kita tak semulus Pettarani”.
Belum lama ini, karena tak dipedulikan pemerintah. Warga Antang sempat menutup akses jalan tepatnya pada 31 Mei lalu.
Hal itu sebagai bentuk unjuk rasa terhadap pemerintah yang tidak melihat keresahan yang dialami.
Melihat hal itu, dengan cepat Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Andi Sudirman memberikan tanggapan. Bahkan, katanya, tim dari Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulsel sudah turun ke lapangan untuk mengukur kerusakan Jalan Antang Raya.
Proyek pengerjaan akan segera dilelang, jelasnya. Pria asal Bone itu menuturkan untuk proses lelang fisik membutuhkan waktu sekitar 45 hari. Sehingga menurutnya sangat membutuhkan waktu.
Sementara itu, Kepala Dinas PUTR Sulsel Astina Abbas ikut menekankan, tim PUTR telah turun dan melakukan pengukuran untuk acuan pengerjaan proyek perbaikan Jalan Antang. Ditargetkan bisa tuntas tahun ini.
Sudah ada reaksi dari pemangku kebijakan, tugas masyarakat saat ini sisa bersabar menunggu.
Semoga saja dalam waktu dekat apa yang dikatakan Gubernur terealisasi. Berbicara tentang sendal jepit dan jalanan rusak, kira-kira sudah bisa dipastikan mana yang paling penting diperhatikan.
Masyarakat sedari zaman bahuela telah terbiasa berkendara dengan memakai sendal. Kebiasaan ini begitu sulit diganti, meskipun sebenarnya bisa.
Tetapi tetap butuh proses dan aparat mesti sabar
dalam menghadapi kebiasaan masyarakat. (*)