Resonansi Tribun Timur
Resonansi Tribun Timur: Digital Skill, Sedari Dulu Kata Kuncinya Adaptasi atau Alienasi
Di hadapan teknologi, sejak dahulu para ahli menasihatkan satu kata kuncI. Kita pun mau tak mau harus beradaptasi apabila kita tidak ingin teralienasi
Resonansi
Digital Skill
Oleh Moch Hasymi Ibrahim
Budayawan
TRIBUN-TIMUR.COM - Hampir semua kita tidak dapat mengelak dari dunia digital.
Cara kita berkomunikasi, menerima dan mengelola informasi, misalnya, saat ini sudah didominasi oleh “cara-cara digital”.
Kita pun mau tak mau harus beradaptasi apabila kita tidak ingin teralienasi.
Di hadapan teknologi, sejak dahulu para ahli menasihatkan satu kata kunci yaitu adaptasi.
Kita dituntut untuk melakukan penyesuaian diri, termasuk mungkin sikap-sikap moral yang menyertainya. Pada era 70 sampai 80an akhir, misalnya, kita semua harus menyesuaikan ritme dan irama kehidupan kita dengan televisi.
Bahkan ada pendapat yang menyebut bahwa “the real politics is politic on TV” - politik yang sebenarnya adalah politik di TV.
Kita tahu, TV telah menciptakan standar-standar cara hidup dan cara kita memandang dan membentuk dunia.
Televisi kala itu adalah pencipta sekaligus “pemilik” kebenaran.
Namun era itu tampaknya susah usai. Teknologi televisi sudah bertransformasi.
Kenyataan hari ini dibentuk oleh, antara lain, sosial media, dengan seluruhnya menggunakan “flatform” digital.
Siaran langsung televisi pada masa lalu pernah dipandang sebagai keajaiban, namun pada masa kini, hal tersebut tinggal kenang-kenangan.
Hampir semua kita telah melakukan komunikasi real-time, bahkan untuk percakapan paling intim sekalipun.
Sekali lagi, di hadapan teknologi kita wajib beradaptasi, tetapi pada masa kini daya adaptasi saja tidak cukup. Kita memerlukan tambahan lain yaitu antisipasi.
Teori-teori perubahan yang selama ini berbasis utama adaptasi, — mengadaptasikan suatu sistim bentukan dalam memetakan masa depan, kini basisnya telah bertambah dengan makin pentingnya antisipasi.
Antisipasi dalam pengertian bahwa tidak lagi sekadar “forecasting” atau peramalan, melainkan menanam sejak mula fondasi sistim untuk dapat mengantisipasi perubahan-perubahan tak terduga.
Dalam kehidupan pribadi, Covid-19, misalnya, telah memaksa hadirnya sejenis upaya antisipasi dengan misalnya penyediaan “safety-net” - jaring pengaman bagi keluarga sekiranya wabah yang sama timbul lagi pada masa depan dan kita harus kembali bekerja dari rumah.
Seluruh keadaan itu tentu memerlukan keterampilan baru, di dunia baru, dunia digital itu. Ketrampilan baru yang tidak hanya mengandaikan kemampuan penggunaan dan pendayagunaan perangkat digital yang terus berkembang, tetapi juga ketrampilan untuk memprediksi model dan instrumen apa lagi yang akan muncul.
Di dunia sosial-media misalnya, kita harus selalu bersiap untuk menerima hadirnya “flatform-flatform” baru, kita harus sudah mahir dengan desain dan produksi visual termasuk kemampuan naratif dalam berbagai bentuk.
Ringkasnya, digital-skill sudah merupakan keharusan masa kini yang tak dapat kita abaikan.
Sebab ketrampilan tersebutlah yang nanti akan menjadi pembeda efektivitas kehadiran kita, bahkan menjadi landasan pokok eksistensi kita.
Beriringan dengan hal itu, kita tentu harus menyadari implikasi-implikasi filosofis dan moralitas yang timbul, juga dampak-dampak psiko-sosialnya, termasuk alienasi atau keterasingan. Karena hal ini adalah efek buruk teknologi yang tampaknya akan selalu hadir. Keterasingan yang secara sosio-psikologis merupakan wujud kesenjangan dan ketidakadilan. *
Tulisan kolom Hasymi Ibrahim dalam Resonansi Tribun Timur terbit di Tribun Timur cetak setiap akhir pekan