Opini Zulfikarnain
Bisakah Pemilih Berdaulat?
Rakyat indonesia sudah menikmati 23 tahun masa reformasi, tentu angka tersebut dikategorikan usia ‘dewasa’.
Kedua pemilih apatis, yaitu sikap pemilih yang tidak percaya terhadap pemilu sebagai sarana pergantian kekuasaan yang demokratis, lalu berujung menjadi golongan putih (golput). Sikap apatis, bisa juga muncul dari ideologi yang mempengaruhi tindakan politik atau ketidakpercayaan terhadap peserta atau penyelenggara yang dianggap tidak bisa bekerja dengan asas bebas, langsung, jujur dan adil.
Ketiga, pemilih sosiologis, yaitu sikap pemilih yang memilih kandidat berdasarkan agama, ras, etnis, bahkan aspek kekeluargaan.
Sehingga cenderung mengabaikan nilai visi-misi partai politik ataupun kandidat presiden, gubernur atau walikota/bupati. Keempat, pemilih rasional, teori pilihan rasional diperkenalkan pertama kali oleh Anthony Downs.
Menurutnya, pemilih rasional adalah pemilih yang mendahulukan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan orang lain. Ia mengklasifikasi kandidat dengan berbagai pertimbangan material, lalu menjatuhkan pilihan pada kandidat yang lebih dapat menguntungkan pribadinya, secara program, visi maupun personal.
Pilihan rasional mengenyampingkan aspek sosiologis maupun patron partai politik, tergantung pada keuntungan pribadi si pemilih rasional.
Lalu, kelima pemilih ideologis, adalah mendahulukan aspek konsep, tatanan ideal dan visi kandidat/parpol dalam menentukan pilihan. Klasifikasi dilakukan untuk menimbang pilihan yang sesuai konsep ideal individu yang akan memilih.
Demokrasi Post-tradisionalis
Postra adalah diskursus yang lahir dari kegelisahan kaum intelektual yang pada masa orde baru disebut kaum tradisionalis.
Pada masa itu, mereka dianggap rendahan, kampungan, terbelakang dan cenderung diposisikan sebagai sub kultur atau subaltern.
Wacana Postra muncul dari ketegangan dikotomi antara narasi tradisional dan modernis.
Berdebat dengan narasi modern, yang merupakan kebalikan dari definisi tradisionalis.
Postra berbentuk 2 hal, pertama dia menggambarkan situasi, karakteristik atas realitas sosial masyarakat pasca kolonial. Kedua sebagai cara pandang baru, titik balik, bahkan subversif atas hal di atas.
Postra menunjukkan ambiguitas masyarakat modern yang ‘bermimpi’ menjadi rasional, empiris dan positivistik.
Di satu sisi, belum bisa meninggalkan sepenuhnya mentalitas yang mereka sebut tradisionalis (tahayul). Sehingga yang terjadi malah munculnya orang-orang modern tetapi di satu sisi masih bermentalitas gaib dan metafisis.
Misal perkara sampah di Kota Makassar, beberapa warga kerap menumpuk sampahnya di lorong, meski itu adalah tanah bertuan. Sehingga sang tuan rumah kadang marah dan memasang imbauan dan ancaman pidana bagi pembuang sampah di tanahnya.