Headline Tribun Timur
Wajo Tertinggi Anak Tidak Sekolah di Sulsel
Dari 24 kabupaten dan kota di Sulsel, kasus anak tidak sekolah paling tinggi di Kabupaten Wajo.
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof Heri Tahir, mengungkapkan fenomena Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi Sulawesi Selatan.
Itu disampaikan di Forum Dosen Tribun bekerjasama dengan Dewan Pendidikan Makassar menggelar diskusi bertema ‘Sistem PPDB versus Wajib Belajar’, Kamis (9/6/2022) pagi.
Dari 24 kabupaten dan kota di Sulsel, kasus anak tidak sekolah paling tinggi di Kabupaten Wajo.
Baca juga: 5.168 Lulusan SD di Makassar Tak Tertampung di SMP
Penyebabnya, kata mantan Wakil Rektor III UNM itu, pertama anak terlalu cepat terjun ke bidang ekonomi atau bekerja. Yang kedua karena budaya pernikahan dini.
"Kita lihat baru-baru ini viral di Wajo, masih remaja sudah menikah. Ini fenomena terjadi di mana-mana. Malakaji (Gowa) juga tinggi ATS-nya. Rata-rata usia SD sudah menikah," katanya dalam diskusi yang disiarkan langsung melalui Facebook dan YouTube Tribun Timur ini.
Prof Heri mengungkapkan, Kabupaten Bone dan Takalar adalah dua kabupaten yang massif melakukan penangan anak tidak sekolah.
Di Kabupaten Bone, lanjutnya, seorang kepala desa mendapat hadiah seekor sapi jika mampu mengembalikan anak-anak kembali bersekolah.
Ia berharap, pemerintah kabupaten dan kota lain mencontoh keseriusan Bone dan Takalar menangani ATS.
5.168 Lulusan SD di Makassar Tak Tertampung di SMP
Forum Dosen Tribun bekerjasama dengan Dewan Pendidikan Makassar menggelar diskusi bertema ‘Sistem PPDB versus Wajib Belajar’, Kamis (9/6/2022) pagi.
Diskusi di Kantor Dewan Pendidikan Makassar dipandu Koordinator Forum Dosen Tribun yang juga Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan, Dr Adi Suryadi Culla.

Narasumber diskusi akademisi Unhas, UNM, UIN, Unismuh, UMI, Unibos, Universitas Fajar, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, perwakilan Dinas Pendidikan Sulsel, dan anggota DPRD Makassar.
Mengawali diskusi, Adi membeberkan tiga masalah dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Sulawesi Selatan yang terjadi setiap tahun.
Pertama masalah sosialisasi. Menurutnya itu masalah besar karena banyak yang belum paham.
“Kedua, masalah infrastruktur termasuk IT, kapasitas IT, bayangkan saja PPDB pendaftaran puluhan ribu tetapi pintu sempit. Jadi seperti tsunami, pintu sempit, air bah mengalir, jebol, muncul masalah disitu, server hang," katanya.
Ketiga, kata Adi, masalah daya tampung sekolah dan ruang belajar.
Kadis Pendidikan Kota Makassar, Muhyiddin, menjelaskan Wali Kota Makassar, Danny Pomanto, telah membuat program revolusi pendidikan, semua harus sekolah.
Tujuannya agar tidak ada anak wajib sekolah yang putus sekolah karena tidak tertampung.
Tahun ini, PPDB Makassar berbeda dari tahun sebelumnya. Dimana, PPDB tidak hanya untuk sekolah negeri, tapi juga mengikutkan sekolah swasta.
“Tahun ini sekolah negeri dan swasta menjadi pilihan dalam PPDB,” ujar Muhyiddin.
Dia menjelaskan, sesuai data dukcapil, anak usia 6 tahun di Makassar sebanyak 21.946 orang.
Terdiri lulusan PAUD 13.857 anak dan tidak PAUD 8.089. Sedangkan daya tampung SD negeri dan swasta di Makassar sebanyak 30.000.
Berarti tidak ada masalah dengan daya tampung SD karena jumlah kursi lebih.
Untuk PPDB SMP, daya tampung sebanyak 21.240. Terdiri 13.680 SMP negeri dan 9.280 SMP swasta.
Sedangkan lulusan SD tahun ini sebanyak 26.608 siswa. Berarti masih ada 5.168 ribu siswa yang tidak tertampung.
Dia merincikan, ruang belajar SMP negeri sebanyak 380 dari 55 sekolah.
Jika dikali 32 kursi, maka SMP negeri Makassar hanya bisa menampung sebanyak 13.680 siswa.
Sementara ruang belajar SMP swasta sebanyak 290 dikali 32 kursi maka hanya bisa menampung 9.280 siswa.
Ketua DPRD Makassar yang juga Ketua Dewan Pendidikan Makassar, Rudianto Lallo, mengatakan, di Makassar memang masih terkendala ruang belajar yang terbatas.
Jumlah murid lulus SD dibanding daya tampung SMP tidak sesuai.
Diskusi mengundang akademisi, dewan pendidikan, kepala dinas ini, katanya, bertujuan mencari solusi atas masalah tersebut, yang terjadi tiap tahun.
“Tadi sudah kita dengar para pakar bicara soal itu. Mudah-mudahan ada solusi dari Dinas Pendidikan Makassar mengatasi masalah ini. Kita berharap tidak ada lagi anak putus sekolah karena tidak tertampung di SMP negeri,” katanya.
Kalaupun kuota terbatas, maka diarahkan ke swasta, tapi disarankan opsi, misalnya pemerintah subsidi ke swasta.
Ini harus dipikirkan supaya jumlah murid yang lebih ini bisa ditampung di swasta, ini harus dipikirkan agar fasilitas sekolah swasta sama dengan sekolah negeri.
Selengkapnya baca di Koran Tribun Timur edisi Jumat (10/6/2022). (*)