Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Marwan Jafar

Surat Izin Berlayar ataukah Suratan Takdir?

Tragedi memilukan tentang tenggelamnya KM Ladang Pertiwi 02 selama dua pekan terakhir telah menggoncang jagad-maya dan media pemberitaan nasional.

Tangkapan layar Instagram
Penumpang KM Ladang Pertiwi yang tenggelam di Selat Makassar berhasil diselematkan oleh crew TB MAX 05 berjumlah 17 orang. (KM) Ladang Pertiwi tenggelam di perairan Selat Makasar pada Kamis (26/5/2022) pukul 13.00 WITA. 

Seakan stigma masyarakat selama ini bahwa “hukum itu tumpul keatas, tajam ke bawah” dengan adanya kejadian ini telah menjadi nyata dan benar adanya “setidaknya” bagi kami warga pulau.

Nyatanya benturan dan ketimpangan dalam produk-hukum warisan penjajah kolonial Belanda antara das-sollen (apa yang seharusnya) dan das-sein (apa kenyataannya) dalam kejadian ini, seolah menegaskan bahwa kadang “hokum memang punya otak tapi tak punya hati, bisa menganalisa tapi tak punya rasa” Tentang Surat Izin Berlayar itu? Bahwa kami masyarakat pulau bukannya tak tahu aturan, kami bahkan adalah warga-negara yang baik yang setiap 5 tahun sekali selalu memberikan suara dalam pemilihan ketika dibutuhkan, namun budaya birokrasi yang rumit dan berbelit-belit serta terkadang barengi pungli ini dan itu sehingga terpaksa kami harus berlayar tanpa Surat Izin Berlayar itu.

Karena apabila jangkar tak kami tarik, layar tak kami kembangkan, mesin tak kami nyalakan dan kapal tak kami kemudikan ke pelabuhan-harapan, maka anak-isteri kami tak akan bias makan, generasi kami tak akan bisa sekolah dan kuliah serta orang tua kami tak akan bisa berobat.

KM Ladang Pertiwi 02 telah acap-kali menjadi “Rumah Bersalin Darurat” di tengah laut.

Kapal itu bersama sang nahkoda telah beberapa kali menjadi saksi lahirnya seorang bayi dari bumil pasien rujuk yang partus ditengah perjalanan dalam dingin dan gelapnya malam serta gejolak selat Makassar.

Semua hal di atas bukanlah narasi-fiktif seperti film layar lebar hikyat “Tenggelamnya Kapal Vander Wijk” yang penuh gimmick improvisasi dan di-dramatisir sedemikian rupa, melainkan fakta cerminan dari kehidupan kami, sehingga kami akan tetap berlayar meski nyawa taruhannya dengan atau tanpa “Surat Izin Berlayar” itu. “Sekali layar terkembang, surut kami berpantang !” karna di lautanlah anak-pulau menggantungkan hidup dan pengharapan, sebagaimana semboyan kerjaan maritim Majapahit yang juga menjadi motto TNI-Angkatan Laut kita : “jalesveva jaya mahe” (karna di lautan kami jaya !).

Kami bersedih, kami terpukul atas tragedi yang telah merenggut keluarga dan sanak family ini dari kami.

Dan kami akan mengenang mereka sebagai pahlawan, tentu saja ! karena dengan adanya kejadian ini dan butuh mengorbankan nyawa mereka dulu, barulah “mungkin” kami orang pulau akan mendapat sedikit simpati dan dilirik serta akan dipandang sebagai manusia oleh program kebijakan yang akan di ambil oleh para pemangku jabatan ke depannya.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved