Opini Marwan Jafar
Surat Izin Berlayar ataukah Suratan Takdir?
Tragedi memilukan tentang tenggelamnya KM Ladang Pertiwi 02 selama dua pekan terakhir telah menggoncang jagad-maya dan media pemberitaan nasional.
Surat Izin Berlayar ataukah Suratan Takdir?
Marwan Jafar, SH, Advokat/ Pengacara di negeri Serambi Mekkah Aceh.
TRIBUN-TIMUR.COM - Tragedi memilukan tentang tenggelamnya KM Ladang Pertiwi 02 selama dua pekan terakhir telah menggoncang jagad-maya dan media pemberitaan nasional.
Berbeda dengan hikayat “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” yang hanya menyisahkan kisah pilu tragedi “asmara-percintaan”, insiden naas tenggelamnya KM Ladang Pertiwi 02 akibat cuaca ekstrim hujan badai disertai amukan gelombang setinggi 2,5 meter pada hari Kamis tanggal 26 Mei 2022 jelang tengah hari di wilayah perairan segitiga bermuda-nya Indonesia (perbatasan selat Makassar- selat Jawa dan- Kalimantan) itu, justru menyisahkan kemelut yang melibatkan banyak pihak bak benang kusut yang sulit terurai satu persatu.
Siapakah yang paling bertanggung-jawab dan patut untuk disalahkan?
Lalu apakah penyebab terjadinya musibah ini adalah mal-administrasi Surat Izin Berlayar ataukah memang murni sudah Suratan-Takdir? sebagai konsekwensi hidup bagi kami orang pulau yang hidup jauh dari gemerlap dan hingar-bingar nikmatnya sarana dan pra-sarana fasilitas-negara yang kadang realisasi-peruntukannya hanya untuk dan bisa di-akses oleh warga-negara yang hidup dan tinggal di kota.
Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula, demikianlah ironi nasib yang harus diterima Supriadi sang nakhoda kapal sebagai representasi orang pulau yang selama ini hidup ter-mariginalkan dan di-diskriminasi.
Betapa tidak, kini ia harus “dikambing-hitamkan” oleh kepentingan penegakan hukum atas musibah yang ia pun sendiri tak menginginkan ini terjadi bahkan menimpa dirinya di mana ibunya (Rahama : 60) dan (Purnama) adik kandungnya turut pula menjadi korban yang tewas.
Kini ia ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 323 UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran jo. Pasal 359 KUHP dan mendekam di balik jeruji Rutan Tahti Polda Sulsel dengan pikiran dan himpitan bathinnya yang berkecamuk.
Cerita sang nakhoda Supriadi hanyalah satu dari ribuan elegi-kesedihan hidup nan miris orang pulau yang selalu saja tak berdaya di hadapan hukum dan selalu diperlakukan tidak adil oleh setiap program kebijakan pemangku kepentingan.
Tenggelamnya KM Ladang Pertiwi 02 yang menelan korban jiwa pun adalah satu dari sekian banyak efek sebagai akibat ketidak-adilan dan diskriminatif-nya setiap program kebijakan-kebijakan yang tidak pernah melihat kami orang pulau sebagai manusia dan mengakomodir hak-hak hidup dan kepentingan kami sejak zaman pelayaran bahtera nabi Nuh hingga kini agar turut pula bisa meng-akses dan menikmati fasilitas-negara yang layak dan memadai serta memenuhi standar-safety keselamatan.
Seandainya kami orang pulau ditanya: “Apakah setelah musibah yang mengerihkan dan telah merenggut nyawa ini, kami masih akan berani ikut dan menumpangi kapal nelayan serupa ketika hendak ke Makassar dan atau pulang kampung?” kami orang pulau dengan serentak akan menjawab : Iyah ! karena kami tak punya pilihan lain, meski kami tahu betul resikonya, tapi inilah potret kehidupan kami di kepulauan. “anak pulau tak dibesarkan dari lautan yang tenang !”
kalaupun ada musibah seperti ini, kami orang pulau tak boleh cengeng, mungkin itulah sudah Suratan-Takdir Yang Kuasa akibat kebijakan pemerintah yang diskrimatif dan tak pernah berpihak pada kami, sehingga kami melihat bahwa musibah ini bukan kesalahan nahkoda kapal, sekali lagi bukan kesalahan sang nakhoda !
Demikinalah halnya semua keluarga korban termasuk keluarga dari korban yang meninggal pun sama-sekali tidak menimpakan kesalahan ini pada sang nahkoda, sebab kami nota-benenya masyarakat pulau memandang bahwa insiden ini bukanlah sebuah human-eror tapi murni musibah sebagai tragedi-kemanusiaan dan itulah resiko tinggal di pulau yang terjauh, terpecil dan terisolir (3T) sebagai konsekwensi-hidup yang harus kami tanggung.
Ataupun jika memang mekanisme hukum butuh seseorang untuk dikambing-hitamkan atas dalih kelalaian, maka apakah otoritas-pelabuhan terkait yang telah lalai dalam pengawasannya (biasanya selalu ada petugas yang selalu datang mengambil dokumen kapal dan baru dikembalikan saat kapal hendak berangkat) serta koorporasi yang menitipkan muatan sehingga KM Ladang Pertiwi 02 dianggap kelebihan beban muatan juga akan ditetapkan sebagai tersangka bersama nahkoda Supriadi dan H Syaiful si pemilik kapal sesuai amanah UU No.17 Tahun 2008 itu?
Bagimana pula dengan petugas KPLP dan Pol-Air yang selalu sigap dengan speed-boat untuk memeriksa muatan, penumpang dan dokumen-kapal nelayan pulau tiap mau sandar atau hendak meninggalkan pelabuhan Pa’otere? Ataukah cukup sang nakhoda dan pemilik kapal yang menjadi sasaran ketidak-adilan hukum hanya karna lantaran mereka adalah sebagai orang-pulau? Maka sesungguhnya yang menjadi momok paling menakutkan bagi kami ke depannya adalah
bahwa kasus nahkoda Supriadi ini akan menjadi sebuah preseden-hukum yang akan digunakan oleh aparat penegak hukum maupun otoritas pelabuhan terkait untuk menjerat para nahkoda pulau lainnya dan tentunya menjegal kami para penumpang dari pulau.
Seakan stigma masyarakat selama ini bahwa “hukum itu tumpul keatas, tajam ke bawah” dengan adanya kejadian ini telah menjadi nyata dan benar adanya “setidaknya” bagi kami warga pulau.
Nyatanya benturan dan ketimpangan dalam produk-hukum warisan penjajah kolonial Belanda antara das-sollen (apa yang seharusnya) dan das-sein (apa kenyataannya) dalam kejadian ini, seolah menegaskan bahwa kadang “hokum memang punya otak tapi tak punya hati, bisa menganalisa tapi tak punya rasa” Tentang Surat Izin Berlayar itu? Bahwa kami masyarakat pulau bukannya tak tahu aturan, kami bahkan adalah warga-negara yang baik yang setiap 5 tahun sekali selalu memberikan suara dalam pemilihan ketika dibutuhkan, namun budaya birokrasi yang rumit dan berbelit-belit serta terkadang barengi pungli ini dan itu sehingga terpaksa kami harus berlayar tanpa Surat Izin Berlayar itu.
Karena apabila jangkar tak kami tarik, layar tak kami kembangkan, mesin tak kami nyalakan dan kapal tak kami kemudikan ke pelabuhan-harapan, maka anak-isteri kami tak akan bias makan, generasi kami tak akan bisa sekolah dan kuliah serta orang tua kami tak akan bisa berobat.
KM Ladang Pertiwi 02 telah acap-kali menjadi “Rumah Bersalin Darurat” di tengah laut.
Kapal itu bersama sang nahkoda telah beberapa kali menjadi saksi lahirnya seorang bayi dari bumil pasien rujuk yang partus ditengah perjalanan dalam dingin dan gelapnya malam serta gejolak selat Makassar.
Semua hal di atas bukanlah narasi-fiktif seperti film layar lebar hikyat “Tenggelamnya Kapal Vander Wijk” yang penuh gimmick improvisasi dan di-dramatisir sedemikian rupa, melainkan fakta cerminan dari kehidupan kami, sehingga kami akan tetap berlayar meski nyawa taruhannya dengan atau tanpa “Surat Izin Berlayar” itu. “Sekali layar terkembang, surut kami berpantang !” karna di lautanlah anak-pulau menggantungkan hidup dan pengharapan, sebagaimana semboyan kerjaan maritim Majapahit yang juga menjadi motto TNI-Angkatan Laut kita : “jalesveva jaya mahe” (karna di lautan kami jaya !).
Kami bersedih, kami terpukul atas tragedi yang telah merenggut keluarga dan sanak family ini dari kami.
Dan kami akan mengenang mereka sebagai pahlawan, tentu saja ! karena dengan adanya kejadian ini dan butuh mengorbankan nyawa mereka dulu, barulah “mungkin” kami orang pulau akan mendapat sedikit simpati dan dilirik serta akan dipandang sebagai manusia oleh program kebijakan yang akan di ambil oleh para pemangku jabatan ke depannya.(*)