Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini M Ridwan Radief

Gurita Korupsi, Di Mana Pancasila?

Masyarakat kita diakui oleh banyak turis sebagai masyarakat yang ramah. Oleh orang Makassar dikenal dengan istilah sombere’.

Freepik.com
Ilustrasi korupsi. 

Oleh : M Ridwan Radief
Aparatur Sipil Negara Kabupatren Gowa

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Selama ini, mungkin kita bangga disebut sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi, bangsa yang ramah, dan dikenal sebagai bangsa yang memiliki landasan moral paling komprehensif, Pancasila.

Dalam beberapa kesempatan, masyarakat kita diakui oleh banyak turis sebagai masyarakat yang ramah. Oleh orang Makassar dikenal dengan istilah sombere’.

Saking ramahnya, sesekali kita bahkan mengajak para turis untuk foto bersama. Padahal, mereka hanya kalangan masyarakat biasa di negaranya. Begitulah kita, dikenal ramah di mata orang luar.

Namun, citra kita sebagai masyarakat yang ramah dan sebagai bangsa yang katanya “menjunjung nilai-nilai pancasila” patut dipertanyakan adanya.

Sebab, di saat yang bersamaan, tatkala bangsa kita dipuja-puji keramahtamahannya,
sebagian dari kita justru menujukkan sifat serigala yang memangsa tubuh bangsanya sendiri. Lihatlah bagaimana korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan kita.

Mata air yang terpancar dari tanah yang subur di negeri ini seketika menjadi air mata kehidupan. Yang kaya tambah kaya, yang miskin semakin melarat.

Korupsi adalah perbuatan yang sangat jahat, biadab dan memalukan. Korupsi telah malang melintang menembus lapis demi lapis generasi. Menurut sastawan Ajip Rosidi, praktik-praktik korupsi sudah terjadi sejak jaman kerajaan dan kesultanan. Bahkan dalam literatur sejarah disebutkan bahwa kolonial sebagai penerus pemerintahan patrimonial yang pernah ada di Indonesia.

Hatta pernah mengungkapkan bahwa “Korupsi telah membudaya di indonesia”.. . Pernyataan Hatta itu diungkapkan pada tahun 1970 ketika usia Indonesia sebagai bangsa merdeka baru menginjak dua puluh lima tahun. Indonesia Observer, 2 Juli 1970: Smith (Carey et.al, 2017:105)

Pernyataan Hatta menunjukkan bahwa negeri ini memiliki histori perjalanan korupsi yang panjang. Korupsi telah menyatu dalam adat kebiasaan orang Indonesia sejak dahulu.

Sebuah kebiasaan yang sulit dihindari, kebiasaaan yang turun-temurun dilakukan. Sebagaimana Herskovits (Herimanto & Winarno, 2012:24) memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke genarasi yang lain, yang kemudian disebut superorganik.

Kemana perginya pancasila yang selama ini kita pekikkan simbolitasnya? Pancasila hari ini tidak lebih dari sekadar lembaran teks masa lalu yang pernah dirumuskan Presiden Soekarno. Sakralitas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah mengalami disrupsi. Mental korup yang tumbuh dalam jiwa bangsa kita telah melucuti eksitensinya.

Pancasila yang dibacakan rutin di birokrasi pemerintah setiap hari senin gagal menginternalisasi sebagai pedoman berpikir dan berperilaku oleh aparatur pemerintah. Berdasarkan data Divisi Hukum dan monitoring peradilan ICW dalam laporan hasil pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I Tahun 2021 menyebutkan bahwa Kasus korupsi berdasarkan lembaga pada semester I tahun 2021, peringkat pertama ditempati oleh pemerintah desa sebanyak 62 kasus, kemudian disusul pemerintah kabupaten sebanyak 59 kasus, pemerintah kota sebanyak 17 kasus dan pemerintah provinsi sebanyak 17 kasus.

Kemudian kasus korupsi berdasarkan aktor menyebutkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan aktor yang paling banyak terjerat kasus korupsi sepanjang semester 1 2021.

Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) bertajuk Hasil Pemantauan Tren Penindakan Korupsi Semester 1 2021 menunjukkan, ASN yang terjerat kasus korupsi sebanyak 162 orang.

Pihak swasta menyusul sebagai koruptor terbanyak pada semester 1 2021 dengan jumlah 105 orang. Kemudian, disusul oleh kepala desa yang terjerat korupsi sebanyak 61 kepala desa.

Merebaknya kasus korupsi menunjukkan bahwa pancasila belum terinternalisasi dalam jiwa bangsa kita sebagai dasar pertimbangan moral. Pancasila belum menjelma sebagai sumber hukum yang diharapkan mampu memberikan efek jerah.

Selama ini “anti pancasila” hanya dilabelkan kepada orang/kelompok yang memiliki ideologi menyimpang dari pancasila seperti kelompok radikal, komunis, atau paham marxisme atau bahkan pada orang yang tidak ingin menyanyikan lagu indonesia raya.

Pertanyaan penulis, mengapa para koruptor tidak disebut sebagai anti pancasila yang memungkinkan untuk dihukum seberat mungkin? Koruptor tidak hanya merendahkan martabat bangsa kita di mata dunia tetapi telah mencederai keinginan luhur para pendahulu kita untuk mewujudkan bangsa merdeka yang bebas dari ketertindasan.

Anti pancasila tidak seharusnya dimaknai parsial. Lokus anti pancasila tidak hanya pada orang/kelompok yang memiliki ideologi menyimpang. Lebih dari itu, segala hal-hal yang bertentengan dengan semua nilai yang terkandung di dalam pancasila patut diduga sebagai orang atau kelompok yang anti pancasila meskipun tidak dilakukan secara terang-terangan.

Korupsi jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Korupsi melanggar ajaran-ajaran agama. Korupsi mencederai kemanusian dengan menciptakan jurang yang sangat lebar antara yang kaya dan yang miskin. Otusanya (Indiahono, 2016:8) menyatakan bahwa korupsi telah memainkan peran utama dalam menyebabkan kerusakan serius pada lanskap ekonomi dan sosial di negara-negara berkembang.

Hal ini mengakibatkan rusaknya kesejahteraan social dan juga investasi di pelayanan publik, sehingga mengikis kualitas hidup dan menghasilkan penurunan rata-rata harapan hidup.

Korupsi merusak kualitas demokrasi dengan menurunnya kepercayaan public kepada pemerintah. Korupsi juga mencederai keadilan yang seharusnya ditegakkan namun terpaksa harus dinodai karena dorongan nafsu serakah penegaknya tidak tahan menerima suap.

Hari lahir pancasila adalah momentum untuk menumbuhkan kesadaran sejarah kita bahwa pancasila bukan merupakan teks kebangsaan belaka melainkan nilai yang diambil dari gambaran kehidupan para pendahulu kita.

Karena itu, komitmen sebagai bangsa yang pancasilais harus ditunjukkan dengan suasana penyelenggaraan pemerintahan yang etis dan sebagai konsekuensi dari perbuatan yang bertentangan dengan nilai nilai pancasila harus dapat memberikan efek jerah.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved