Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Aswar Hasan

Hadji Kalla dan Trilogi Ketokohan

Keberlangsungan suatu nilai tradisi budaya suatu etnik sangat ditentukan adanya ketersediaan Role Model yang merepleksikan masyarakat tersebut.

aswar hasan
Aswar Hasan Dosen Fisipol Unhas 

Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Keberlangsungan suatu nilai tradisi budaya suatu etnik sangat ditentukan adanya ketersediaan Role Model yang merepleksikan masyarakat tersebut.

Melalui Role Model itulah, nilai-nilai di enkulturasikan dan disosialisasikan kepada generasi penerus budaya masyarakat tersebut.

Sebaliknya, jika sudah tidak ada lagi Role Model tentang tradisi budaya di tengah masyarakat tersebut, maka budaya masyarakat itu, terancam punah.

Dalam pada itulah, masyarakat Bugis di Nusantara patut bersyukur karena masih memiliki Role Model berupa ketokohan Hadji Kalla yang terawat dengan baik kepada anak keturunannya.

Prof DR M uraish Shihab dalam ceramahnya pada Haul 40 Tahun Wafatnya Hadji Kalla dan Hj Athirah di Masjid Raya menyatakan bahwa ada banyak sekali nilai keteladan yang patut dicontoh pada sosok tokoh Bugis Hadji Kalla.

Ketokohannya memang bisa menjadi role model bagi generasi muda dalam menempa kepribadiannya untuk mengisi peran dan tanggung jawab masa depan bangsa dan negara ini
Menjadi tokoh di kalangan Bugis Makassar, adalah sebuah kemuliaan dan dimuliakan dimana sistem budayanya membuka ruang untuk mencapainya bagi yang bersungguh-sungguh dengan fokus dan tulus dalam menitinya.

Di kalangan masyarakat Bugis, ada tiga posisi mulia yang senantiasa ditokohkan dan menjadi orientasi karir dalam hidup jika ingin berguna bagi orang banyak dan dimuliakan atas prestasi capaiannya, yaitu:

Pertama, menjadi To Panrita. Yaitu Ulama, cendekiawan. Seorang Panrita di kalangan Masyarakat Bugis diposisikan pada strata tertinggi dalam pergaulan masyarakat.

Seorang Panrita dimuliakan, karena merupakan tempat masyarakat meminta nasihat, petunjuk dan bimbingan dalam mengarungi problematika hidup. Seluruh hidup seorang Panrita diabdikan dalam membimbing masyarakat, penggalaman hidupnya yang bermanfaat dan ilmu yang berguna, bagi masyarakat dalam mengarungi kehidupan.

Karenanya, jalan menuju derajat seorang Panrita, tidaklah mudah. Menjadi seorang Panrita memerlukan penggalaman hidup yang penuh warna dan masa pembelajaran yang seumur hidup dengan penuh kesungguhan.

Kedua, To Sugi (orang kaya atau hartawan). To Sugi dalam sistem budaya Bugis Makassar merupakan sosok yang dihormati.

Salah satu penyebabnya, karena suatu hajatan besar yang berskala kenegaraan (kerajaan) dianggap tidak bisa berjalan sukses sesuai idealitas perencanaannya jika tidak didukung oleh To Sugi.

Dalam pameo, To Sugi kerap diistilahkan dengan panggilan Dg Makkulle (Sang Yang Membisakan) atau orang yang memiliki kemampuan dimana dengan kemampuannya (kekayaanya) itu, segala macam hajatan (urusan) dapat teratasi.

Tidak mudah menjadi To Sugi, karena di samping harus beretos kerja yang tinggi, juga harus memiliki kompetensi kecakapan berdagang di atas rata-rata, dan saling komplementer dengan tingkat penetrasi yang pervasif (berterima) dalam tata pergaulan sosial.

Pervasiveness sosok To Sugi, dicerminkan oleh ketokohan Hadji Kalla. Karena dengan kekayaannya itu, tidak hanya digunakan untuk kepentingan diri pribadi dan keluarga saja, tetapi juga bagi kepentingan masyarakat, bahkan negara. Dan yang sangat menonjol pada kepribadian H.Kalla, yaitu menyatunya dua ranah kehidupan terpenting, yaitu Agama dan Bisnis untuk masyarakat dan Politik (negara).

Trilogi kepentingan itu, telah dengan apik dimanifestasikan dalam kiprah ketokohan Hadji Kalla sebagai To Sugi.

Di setiap hajatan kemasyarakatan atau kenegaraan (kerajaan) dalam sistem budaya Bugis Makassar, To Sugi selalu mendapat tempat istimewa yang memang dikhususkan (distimewakan) karena posisinya tersebut. Demikian juga halnya terhadap sosok yang disebut Panrita.

Kedua sosok tokoh tersebut, selalu mendapat posisi istimewah di dalam sistem budaya dan pemerintahan dalam Kerajaan Bugis Makassar.

Ketiga, To Pamarentah (orang yang memerintah). Tidak sembarang orang bisa menjadi To Pamarentah di kalangan Masyarakat Bugis Makassar.

Menjadi orang yang memerintah, harus memiliki kriteria atau kualifikasi yang secara khusus diperuntukkan untuk menata kekuasaan dalam mengatur masyarakat demi ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat yang diperintahnya berdasarkan penggunaan kekuasaan sesuai norma kemasyarakatan dan Negara (Kerajaan).

Di kalangan masyarakat Bugis Makassar, menjadi To Pamarentah (orang yang memerintah) tidak sembarangan. Di samping memiliki trah pamarentah (bangsawan), tetapi tidak semua bangsawan bisa dan boleh menjadi To Pamarentah, karena harus menempuh pendidikan khusus.

Semacam pendidikan kepamongprajaan yang dibuktikan dengan semacam besluit ( ketetapan) berdasarkan pendidikan kepamongprajaan yang telah ia tempuh, agar ketika menjadi To Pamarentah di tengah masyarakat, ia tidak lagi canggung atau tidak paham bagaimana seharusnya menata dan membina serta membangun masyarakatnya.

Menjadi To Pamarentah di masyarakat merupakan puncak strata dalam sistem kemasyarakatan di budaya orang Bugis Makassar.

To Panrita, To Sugi, dan To Pamarentah, adalah tiga sosok personality yang tak terpisahkan. Trio personality yang senantiasa diposisikan istimewa di kalangan masyarakat Bugis Makassar. To Pamarentah yang baik selalu di dampingi (diperkuat) oleh Panrita dan To Sugi.

Dengan demikian, ketokohan To Panrita, To Sugi dan To Pamarentah adalah Trilogi ketokohan yang menjadikan sistem budaya orang Bugis menjadi Istimewa dan kokoh. Tanpa Trilogi tersebut, budaya Bugis Makassar akan rapuh keropos oleh “ rayap” zaman.

Pewaris Trilogi

Hadji Kalla adalah sosok yang sukses sebagai To Sugi yang ditokohkan oleh masyarakat. Karena sejak muda telah menjadi Santri (serangkatan dengan KH Ali Yafie (Ulama Nasional) mantan pimpinan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan pernah menjabat sebagai Rais Am PBNU dan Dewan Penasehat ICMI Pusat.

Dengan latar belakangnya sebagai Santri, Hadji Kalla tentu memiliki pemahaman dan komitmen keagamaan yang tinggi. Karena itu, beliau dikenal sebagai pengusaha Muslim yang sukses di dua ranah kehidupan, yaitu bisnis dan agama.
Dua dunia yang jarang terpadukan dengan sukses.

Di samping itu, sesungguhnya Hadji Kalla tidak hanya sukses berhikmat di dua dunia (Agama dan Bisnis) tetapi juga sempat merambat ke dunia politik. PPP di tahun 70 an di Sulsel sempat berjaya. Boleh jadi sebagai Partai peraih kursi terbanyak di DPR sekiranya Rezim Orba komitmen pada Pemilu Jurdil.

PPP jadi Partai yang kuat Di Sulsel karena di endorse oleh H. Kalla dari segi pendanaan dan ketokohan nama besar Hadji Kalla. Jadi, sesungguhnya H. Kalla telah sukses sebagai tokoh di tiga ranah terpenting dalam kehidupan terutama dalam sistem budaya Bugis Makassar, yaitu: dunia bisnis, keagamaan, dan Politik.

Ketiga dunia itu (Trilogi Orientasi kemuliaan hidup seorang Bugis Makassar) telah terpatri dengan kokoh dalam kepribadian Hadji Kalla.

Lebih istimewa lagi, karena Hadji Kalla sukses mewariskan Trilogi tersebut kepada anak dan menantunya, yaitu. M Jusuf Kalla mantan wapres dua kali dan pernah memimpin Partai Golkar. Partai terbesar pada zamannya. Begitu pun kepada menantunya. HM Aksa Mahmud, yang sukses sebagai pengusaha dan politikus tanpa partai yang dihormati dan disegani. Pernah menjadi Senator dan Wakil Ketua MPR RI.

Aksa Mahmud dikenal memiliki kelebihan sentuhan politik, yaitu senantiasa dimintai pandangan bagi aktifis fungsionaris partai politik yang berseteru. Ia kerap secara diam-diam (silent) mendamaikan pertengkaran politik tanpa Gaduh. Dan, hampir setiap calon gubernur yang akan maju berkompetisi di Sulawesi Selatan, “sowan” ke Pak Aksa Mahmud dan minta nasihat dan support.

Bisnis, politik, dan agama, telah dengan apik dilakonkan oleh HM Jusuf Kalla yang karib disapa Pak JK. Trilogi peran tersebut telah menyatu dalam satu tarikan nafas, yaitu sebagai negarawan dan Bapak bangsa.

Kekayaannya, bukan untuk kesejahteraan pribadi dan keluarga saja, tapi juga untuk masyarakat dan negara. Kerja politiknya, untuk kemaslahatan berbangsa dan bernegara, keyakinan dan pemahaman keagamaannya untuk kedamaian dan kesejukan beragama secara berdampingan diantara umat beragama.

Tidak bisa disangkal bahwa trilogi ketokohan HM Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud, adalah buah hasil didikan Hadji Kalla. Beruntunglah masyarakat Sulawesi Selatan punya ketauladanan Role Model seperti mereka. Wallahu A’lam Bishawwabe.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved