Opini Tribun Timur
Oligarki dan Industri Kekuasaan
Dalam perjalanannya oligarki, bukan hanya berorientasi kekuasaan, tetapi juga sudah menjadi industri yang berorientasi politik dan ekonomi.
Kebijakan inilah yang balik menyerang pak Harto, karena rakyat dan sebagian aktifis sudah bosan menunggu kue pembangunan yang sejak pelita ketiga sudah tertuang dalam GBHN untuk menciptakan pemerataan pembangunan.
Stabilitas yang mantap dan terkendali sebagai syarat pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang pada gilirannya akan menciptakan pemerataan pembangunan ternyata lain akhirnya.
Endingnya yang terjadi justru stabilitas pada diri dan kelompok para konglomerat yang terjaga ditambah lagi dukungan TNI, terutama Angkatan Darat dan para Teknorat yang juga memperoleh keuntungan di dalamnya.
Terjadilah persekongkolan politik antara konglomerat, TNI dan Teknokrat yang belakangan disebut sebagai oligarki.
Andai saja ada kelompok masyarakat semisal civil society yang bergabung disitu, mungkin inilah yang disebut Governance yang deskruptif.
Mosca sejak lama menyebut bahwa pemerintahan yang baik hanya bisa terjadi ketika yang memimpin itu jauh lebih kecil dibanding dengan yang dipimpin.
Ketika saya berdiskusi dengan sahabatku Andi Luhur ternyata justru memberi penguatan pada pernayatan Mosca di atas bahwa disetiap kelompok besar pasti ada kelompok kecil dan kelompok kecil ini selalu berupaya untuk menguasai berbagai sumber daya (resources) yang dimiliki oleh kelompok besar.
Tujuannya adalah agar mereka bisa berkuasa dan memnguasai berbagai sumber daya, termasuk kelompok yang besar itu.
Jadi kehadiran oligarki sesungguhnya adalah wajar dan itu adalah realitas politik oleh sebab itu oligarki adalah sebuah keniscayaan.
Sayangnya karena acapkali oligarki itu tidak terkendali dan bisa menjadi industri kekuasaan, kalau ini berlangsung lama.
Bukan tidak mungkin pemerintahan akan menjadi new liberalism, melebihi liberalisme yang selama ini ada di Amerika dan Negara-negara Eropah lainnya.
Pasca reformasi, terutama sejak pemilihan langsung dilakukan, baik itu pemilihan presiden, pemilihan gubernur, bupati dan walikota, serta pemilihan legislatif disemua tingkatan, nampaknya oligarki semakin menemukan dirinya sebagai pilihan rasional (public choice).
Hal ini dimungkinkan karena kompetisi yang luar biasa sengit ditambah lagi munculnya calon pemimpin a-historis yang tidak punya rekam jejak kepemimpinan.
Calon seperti inilah yang seringkali mengandalkan kemampuan finansial untuk menutup kekurangannya, terutama karena kurang populer, kurang populis dan kurang elektabilitas.
Kompetisi antar kandidat yang ketat, persaingan memperoleh simpati masyarakat serta dukungan partai politik tentu memerlukan kolaborasi, terutama suntikan dana yang besar dari para pemodal yang belakangan sering disebut cukong.
