Opini Tribun Timur
Fase Akhir Ramadan Menyadari Kesalahan atau Memamerkan Kesalehan?
Ramadan yang juga dikenal sebagai bulan maghfirah (ampunan) seyogyanya dijadikan sebagai momentum untuk menyadari kesalahan.
Karena itu, dari pada kita menyibukkan diri untuk membuat konten curhat ibadah di media sosial, akan lebih baik jika momentum Ramadan ini dijadikan sebagai ajang untuk banyak muhasabah diri atas kesalahan-kesalahan yang telah berlalu.
Menyadari kesalahan merupakan langkah awal untuk mengundang ampunan Tuhan, sedangkan pamer dan bangga atas kesalehan justru merupakan suatu kesalahan yang baru, pun Tuhan jauh lebih menyukai hamba-Nya yang mengaku atas kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.
Selain menyadari kesalahan secara individual, hal terpenting yang tersirat dari Ramadan sebagai bulan maghfirah ialah bagaimana seseorang bisa mengontrol dirinya untuk tidak memandang buruk orang lain.
Sebab, bisa saja orang yang secara kasat mata ibadahnya biasa saja atau bahkan ibadahnya terbilang sangat kurang, justru keberagamaan dan kedudukannya di sisi Tuhan melebihi orang banyak.
Sebaliknya, bisa saja orang yang secara kasat mata keberagamaannya kuat; salat wajib dan sunnah terjaga, puasa, khatam qur’an, pakaiannya baik pun seorang aktivis dakwah (pendakwah), justru di mata Tuhan semua itu tidak ada nilainya.
Artinya, cukup fokus untuk merenungi kesalahan pribadi seraya mengharap pengampunan dari-Nya serta bertekad untuk tidak mengulanginya kembali.
Itulah, makna sederhana dari taubat al-nasuha yang akan mengundang ampunan dari Tuhan di bulan maghfirah ini.
Dengan itu, agaknya hal demikian bisa menjadi jalan bagi kita untuk terhindar dari golongan orang-orang yang merugi di bulan Ramadan, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi saw.
Dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa, Nabi saw. bersabda: “Merugilah seseorang yang mendapati Ramadhan, kemudian Ramadan berlalu ia tidak diampuni dosa-dosanya”. (HR. Ahmad nomor 7139).
Alangkah ironis ketika kita mendapati arena Ramadan (bulan magfirah/ampunan) namun tidak memperoleh ampunan dari-Nya.
Olehnya, memasuki fase 10 terakhir Ramadan sudah selayaknya kita memanfaatkan waktu untuk memperbanyak kontemplasi dan sejenak mengasingkan diri dari masyarakat virtual untuk meraih kedekatan dengan Tuhan dalam ruang-ruang kesendirian.
Agaknya itu juga yang menjadi makna sederhana dari ritual i’tiqaf.
Menjadi selebriti langit jauh lebih mulia dibanding selebriti dunia. Sebab, tak sedikit yang menjadi selebriti di bumi, tapi sungguh tidak ada yang mengenalnya di langit.
Sebaliknya banyak selebriti di langit, meskipun ia tidak populer di bumi. “Dalam konteks ibadah, tidak perlu dikenal di bumi, cukup langit yang memahami kita”.
Wallahu a’lam bish-shawab.(*)