Klakson
Muadzin
Di negeri ini, “politik-politis” dan “kebijakan” tak pernah terpisah. Ia tak pernah terlerai.
Ia dilarang adzan ketika waktu sholat tiba gegara suaranya tak merdu, hingga bayati yang tak jelas kategorisasinya.
Maklumlah, dikampung itu tak ada muadzin yang definitif.
Aturan sang kepala kampung menyengsarakan warga. Mereka tak punya pengingat bila waktu solat tiba, sebab si marbot berdingin hati. Ia merasa tak berguna di masjid itu.
Lalu seorang tetuah kampung mengelus hatinya agar si marbot tak pensiun dari masjid.
Sebab di kampung itu, menjadi marbot dianggap profesi yang tergolong pilihan terakhir.
Sepanjang masih bisa bekerja di sawah atau ladang maka marbot tak masuk sebagai jenis pekerjaan yang pelamarnya membludak.
Namun marbot terlanjur kecewa dengan kebijakan kepala kampung. Ia tak adzan meski waktu solat tiba.
Hampir sepuluh hari ia “ngambek” begitu.
Warga kampungpun mulai resah. Mereka tak lagi mendengar lantunan adzan si marbot jomblo itu yang dipancarkan speaker Toa diatas menara.
Mereka yang di ladang atau di sawah tak lagi punya penanda waktu.
Mereka yang dirumah harus fokus melihat jam agar faham sekiranya waktu solat tiba sudah.
Mengakhiri itu, solusi ditempuh. Kepala kampung dan pengurus masjid bersepakat untuk merekrut muadzin khusus.
Maka ditunjuklah salah seorang anak muda tammatan Madrasah Tsanawiyah di kampung itu tanpa upah.
Dan hasilnya, tak mengecewakan. Suaranya membanggakan kepala kampung dan warga secara umum.
Dari atas menara Toa yang melemparkan kumandan adzannya yang merdu itu turut menggairahkan warga untuk bertolak ke masjid setiap lima waktu.