Opini Tribun Timur
Kontroversi Suara Adzan
Menteri Agama Yaqut Kholil kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang suara adzan.
Oleh: Dr Hairuddin K SS SKM MKes
Wakil Rektor IV Unimerz
Menteri Agama Yaqut Kholil kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang suara adzan.
Kontroversi itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola.
Surat edaran ini pada dasarnya tidak melarang adzan namun hanya membatasi volueme suara sekitaran 100 Db (decibel).
Namun puncak kontroversi justru terjadi pada pernyataan Menteri Agama yang kemudian viral di media sosial.
Menag dituding membandingkan suara dengan gonggongan anjing.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi, Thobib Al Asyhar menyatakan klarifikasi Menag.
“Dalam penjelasan itu, Gus Menteri memberi contoh sederhana, tidak dalam konteks membandingkan satu dengan lainnya, makanya beliau menyebut kata misal.
Yang dimaksud Gus Yaqut adalah misalkan umat muslim tinggal sebagai minoritas di kawasan tertentu, di mana masyarakatnya banyak memelihara anjing, pasti akan terganggu jika tidak ada toleransi dari tetangga yang memelihara”.
Namun, kontroversi telah mencuat ke publik.
Pernyataan menjadi liar dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak hanya yang berseberangan dengan Gus Yaqut, namun di internal NU sendiri.
Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid mendesak Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meralat pernyataannya yang membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing.
Gelombang protes yang luas dari masyarakat menunjukkan satu fakta adanya kontestasi tidak hanya pada persoalan makna namun lebih dalam dari itu.
Pernyataan Gus Yaqut telah mengeruhkan ruang publik.
Gus Yaqut mewakili otoritas negara berhadapan dengan warga masyarakat.
Keluaran Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 menunjukkan intervensi sosial negara yang disambut sinis oleh sebagian masyarakat.
Gelombang penolakan Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 apalagi pernyataan yang dianggap melecehkan suara adzan tidak lain menunjukkan bagaimana agen atau aktor sosial memiliki independensi dan kebebasan berhadapan dengan dominasi struktur yang diwakili negara.
Tentu saja, upaya otoritas politik memuluskan satu kebijakan tentu saja sebagai bagian dari proses internalisasi untuk mengubah perilaku masyarakat.
Dengan alasan toleransi, surat edaran tersebut diberlakukan.
Apa yang menjadi tindakan otoritas menunjukkan penggunaan kekuasaan untuk menciptakan tatanan kerukunan umat.
Namun reaksi keras dari masyarakat menunjukkan bahwa relasi struktur dengan aktor sosial bersifat dinamis.
Masyarakat bukanlah sekelompok individu yang hanya mengikuti apa kata struktur sosialnya.
Relasi dinamis ini menciptakan arena kontestasi yang memperhadap-hadapkan kekuatan otoritas negara dengan sekelompok masyarakat.
Arena adalah ruang publik yang didalamnya terdapat ikatan-ikatan sosial yang saling berdialektika untuk merebut kuasa atau merongrong kuasa otoritas.
Bentuk relasi antar kelompok tersebut sangat bergantung pada komunikasi dan tujuan tindakannya.
Isi dan cara berkomunikasi bisa saja menimbulkan pertentangan terbuka dalam ruang publik. Apa yang terjadi pada Gus Yakut mengkonfirmasi paparan teoritik ruang publik.
Masalah komunikasi biasanya berasal dari perbedaan gaya berbicara, gaya penulisan, dan gaya komunikasi non verbal. Perbedaan gaya ini sering mendistorsi proses komunikasi.
Komunikasi rusak menyebabkan salah satu persepsi dan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan terjadinya konflik.
Hambatan tambahan untuk komunikasi dapat muncul dari perbedaan lintas gender dan lintas budaya peserta.
Perbedaan mendasar tersebut dapat mempengaruhi baik cara-cara dimana para pihak mengekspresikan diri mereka dan bagaimana mereka akan menafsirkan komunikasi yang mereka terima.
Distorsi, pada gilirannya sering mengakibatkan salah membaca dengan pihak yang terlibat (Wahyudi, 2015).
Cara memaparkan gagasan dan memilih analogi yang menyebabkan komunikasi Gus Yakut problematik.
Bila ingin mencermati lebih dalam, kontestasi ini mempertemukan dua wajah pemaknaan terhadap adzan yang berbeda.
Dalam sosiologi dikenal Teori Interaksionisme Simbolik yang mefokuskan analisisnya pada pengaruh interpretasi yang mengarahkan tindakan kolektif.
Kekhususan tindakan sosial manusia yang terletak pada kenyataan bahwa manusia menggerakkan jejaring tindakan sosial yang disengaja, dimana tindakan sosial tersebut terjadi berdasarkan pada pemahaman aktor sosial terhadap simbol.
Berikutnya, tindakan bersama sangat dimungkinkan disebabkan karena kesamaan interpretasi terhadap simbol tertentu yang dengan sendirinya menciptakan fenomena interaksionisme simbolik di antara aktor sosial.
Kapasitas simbolik seperti itu mendorong individu untuk menjadi objek bagi dirinya sendiri dengan tujuan manusia bisa mendapatkan kapasitas refleksif” (Tsekeris,2008).
Persepsi pernyataan Gus Yakut memegang peranan utama dalam bekerjanya proses sosial.
Bentuk proses sosial tersebut adalah konflik.
Sebagian masyarakat memberikan pemaknaan yang negatif pada pernyataan Hal ini terjadi tindakan bersama sangat dimungkinkan karena adanya kesamaan interpretasi.
Titik krusialnya justru bukan pada surat edaran tersebut namun pada pemaknaan bahwa Gus Yakut membandingkan suara adzan dengan anjing.
Interpretasi seperti ini disepakati banyak orang dan diwujudkan dalam tindakan bersama.
Analogi ini memicu reaksi yang negatif dan tentu saja perlawanan terhadap keputusan Menag tersebut.
Perbedaan pemaknaan menyebabkan relasi disasosiatif yang menghasilkan gelombang penolakan dan penentangan atas Gus Yakut.
Tentu saja secara politis, perlawanan tersebut tentu memiliki agenda yang jauh lebih kompleks. Mengingat kasus-kasus seperti ini sering menghiasi wajah di media kita.
Beberapa waktu lalu kasus “pengharaman” wayang menarik semua perhatian publik.
Dalam politik, ada 5 proses terjadinya kontestasi yang dapat menimbulkan eskalasi konflik :
“Pertama, identity formation (pembentukan identitas), yaitu bagaimana suatu identitas bersama dapat terbentuk pada sebuah kelompok sehingga menciptakan tindakan kolektif?
Kedua, scale shift (eskalasi), yaitu bagaimana sebuah konflik yang mulanya kecil mengalami eskalasi sehingga melibatkan aktor-aktor yang jauh lebih banyak?
Ketiga, polarization (Polarisasi), yaitu bagaimana ruang politis antar pihak yang saling berseteru meluas ketika mereka saling menjauh menuju kedua titik ekstrim dan tidak ada pihak yang berada pada posisi moderat?
Keempat, mobilization (Mobilisasi), yaitu bagaimana orang yang biasanya apatis (acuh-tak acuh) dapat digerakkan untuk ikut serta dalam gerakan?
Kelima, actor Constitution (pembentukan aktor), yaitu bagaimana sebuah kelompok yang sebelumnya tidak terorganisasi atau apolitis berubah menjadi sebuah aktor politik tunggal” (Permana, 2010)
Lima proses kontestasi akibat pernyataan kontroversial Menteri Agama pada akhirnya mewujud.
Pembentukan identitas telah nyata terlihat. Para penentang kebanyakan mewakili kelompok yang selama ini antipasti terhadap Gus Yakut.
Eskalasi kontestasi semakin besar yang bisa memunculkan konflik.
Polarisasi terlihat nyata pada dua kelompok yang berhadap-hadapan, Menteri Agama dan pendukungnya versus penentangnya.
Mobilisasi perlawanan semakin lama semakin menguat. Pembentukan aktor bisa saja terjadi lagi mengulang kontestasi yang memicu terbentuknya kelompok 212 melawan Ahok.
Tentu saja,semua pihak tidak ingin mengulang lagi polarisasi bangsa akibat permasalahan SARA.
Fenomena Gerakan 212 menciptakan gelombang demonstrasi yang berjilid-jilid yang memanisfestasikan tahap keempat kontestasi yakni pembentukan aktor yang terorganisir.
Mereka mengepung Jakarta. Mereka datang dari seluruh Indonesia dengan satu tekad melindungi agama mereka.
Tentu saja fenomena ini bisa saja terulang meski eskalasinya lebih rendah.
Oleh karena itu, pejabat utama di negeri ini hendaknya berhati dengan isi dan cara berkomunikasi mereka.
Dunia digital adalah dunia dimana pernyataan yang seharusnya baik dapat dibelokkan melalui rekayasa digital.
Kontestasi seakan sudah ditentukan berkat analogi yang dirasa kurang tepat meski tujuannya bagus.
Tujuan menciptakan kehidupan bersama antar pemeluk agama itu mulia namun bila caranya bermasalah maka hasilnya juga tidak maksimal.
Reaksi bergelombang beberapa tokoh agama telah memunculkan upaya perlawanan dan kemungkinan akan mengarah pada upaya mendesak Presiden memberhentikan Gus Yakut.(*)