Klakson
Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI)
Didirikan ulama lokal kharismatik, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle pada 21 Desember 1938, di Mangkoso, Kabupaten Barru.
Entah itu organisasi sosial keagamaan, kemasyarakatan atau organisasi politik seperti Parpol.
Kala itu, DDI secara institusi tak berafiliasi dengan parpol tertentu.
Jamaah DDI diberi kebebasan meleburkan diri/memilih pada parpol tertentu dengan syarat canggih dizaman itu, yakni; tak boleh menyertakan ke-DDI-an didalamnya.
Barangkali ini sejenis strategi antisipasi agar DDI tak terpolitisasi dan terpolarisasi karena politik.
Dan AGH. Abdurrahman Ambo Dalle sendiri membuktikan itu. Ia memilih meleburkan diri di partai PSII tanpa embel-embel DDI.
Orde lama beranjak, Orde baru mulai merangkak. Di usia belianya, Orde baru memerlukan pengakuan banyak kalangan.
Ia pun mengupayakan agar berbagai kalangan mengakuinya.
Salah satu upaya penting yang keji adalah memobilisasi tokoh-tokoh penting untuk bernaung dibawah payung politiknya, yakni Golongan Karya.
ElitE-elitE DDI pun mau tak mau bernaung dibawah rindangnya beringin. Mereka tak dipaksa, tetapi dianjurkan dengan bisikan bising.
Di zaman kemilau Orba itulah DDI--seperti halnya pesantren dinegeri ini--tak ubahnya aksesoris kekuasaan.
Ia dianggap penting untuk menunjukkan bahwa Orba dibutuhkan rakyat, sekaligus untuk menampilkan jikalau Orba mengakomodasi pesantren.
Itulah karenanya, disetiap hajatan Orba, terselip lepasan pesantren merafal doa dengan khusyuk diakhir hajatan itu.
Ini terjadi di level atas hingga ke bawah.
Sebagai aksesoris, tentu sifatnya tak permanen. Dengan itulah pesantren dianaktirikan dalam jagad pendidikan nasional Orba. Pesantren dikasihani tetapi tanpa subsidi.
Ia dirangkul tetapi tak dipikul. Ketika itu, pesantren adalah cinta yang hambar bagi Orde baru.