Ingat Jenderal Chairuddin? Putra Sulsel Pertama Jabat Kapolri Tapi Dicopot Pasca 2 Bulan, Kini Beda
Sebenarnya, Chairuddin Ismail menjadi Kapolri "aji mumpung", menggantikan Jenderal Polisi (Purn) Surojo Bimantoro.
TRIBUN-TIMUR.COM - Ingat Jenderal Chairuddin Ismail? Kapolri tersingkat yang dicopot Megawati.
Jenderal Chairuddin Ismail hanya menjabat sekitar dua bulan, masa jabatan 2 Juni 2001 - 7 Agustus 2001.
Chairuddin Ismail adalah putra Sulawesi Selatan yang pernah ditolak 102 jenderal.
Dia adalah sosok Kapolri sebelumnya yang antara diakui dan tidak diakui.
Chairuddin Ismail, Kapolri yang hanya beberapa saat menjabat.
Chairuddin Ismail memecahkan rekor sebagai putra Sulsel pertama yang menjabat Kapolri.
Sebenarnya, Chairuddin Ismail menjadi Kapolri "aji mumpung", menggantikan Jenderal Polisi (Purn) Surojo Bimantoro.
Baca juga: Ingat Jenderal Surojo Bimantoro? Kapolri Berani Lawan Presiden Gus Dur, Disuruh Mundur Tapi Menolak
Baca juga: Ingat Jenderal Roesmanhadi? Kapolri Eksis Era BJ Habibie Pernah Diperiksa saat Pensiun, Kini Beda
Pada masa kepemimpinan Surojo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Surojo Bimantoro, meski dengan syarat.
Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Presiden mengulangi kekeliruan dengan "memecat" Surojo Bimantoro dan mengangkat Chairuddin Ismail tanpa persetujuan parlemen.
Kemudian situasi berbalik, Surojo B Bimantoro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya melawan Presiden.
Bagaimanapun, masa bulan madu antara Surojo Bimantoro dan Presiden memang hanya sebentar.
Baru satu bulan menjadi Kapolri, Surojo Bimantoro sudah berseberangan pikiran dengan Presiden.
Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka.
Presiden Abdurrahman memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Surojo Bimantoro tegas tidak menoleransinya.
Baca juga: Ingat Jenderal Endriartono Sutarto? Panglima TNI Karier Melejit Era Gus Dur, Kini Jadi Orang Penting
Baca juga: Ingat TB Simatupang? Jenderal Muda TNI Berani Tantang Soekarno, Baru Dapat Gelar Pahlawan di Era SBY
Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Surojo Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.
Kasus penangkapan dua eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada.
Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi.
Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan.
Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.
Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.
Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni lalu.
Dalam insiden itu, jatuh satu pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat.
Baca juga: Ingat Jenderal Surojo Bimantoro? Kapolri Berani Lawan Presiden Gus Dur, Disuruh Mundur Tapi Menolak
Baca juga: Ingat Jenderal Roesmanhadi? Kapolri Eksis Era BJ Habibie Pernah Diperiksa saat Pensiun, Kini Beda
Presiden marah besar.
Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Surojo Bimantoro mengundurkan diri.
Namun, Surojo Bimantoro menolak.
Pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chairuddin Ismail sebagai Wakil Kapolri.
Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres Nomor 54 Tahun 2001 tertanggal 1 April 2001.
Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseteruan Presiden dengan parlemen.
Pengangkatan Chairuddin Ismail memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.
Masalah Polri ini semakin berlarut-larut.
Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Surojo Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia.
Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Surojo Bimantoro menolak.
Baca juga: Jenderal asal Toraja Ferdy Sambo Minta Penambahan Kewenangan ke Kapolri Bisa Tindak Tegas Pelanggar
Baca juga: Rekam Jejak Kombes Riko Kapolrestabes Medan Terima Suap Narkoba, Lebih Kaya Dibanding Kapolri
Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Surojo Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Surojo Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden.
Surojo Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis.
Pada tanggal 20 Juli 2001, dia melantik Chairuddin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal.
Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chairuddin Ismail hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.
Setelah Presiden Megawati Soekarnoputri dilantik, Chairuddin Ismail dicopot dari jabatannya.
Kini, Chairuddin Ismail menjadi politisi dengan menduduki jabatan sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai Hanura.
Chairuddin Ismail yang lahir di Wajo, 73 tahun lalu, dikenal dekat dengan mantan Panglima ABRI, Wiranto dan mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.
Kabar terbarunya, Chairuddin Ismail dikukuhkan menjadi Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK–PTIK).
Pengukuhan dilakukan lewat sidang senat terbuka yang dipimpin Ketua STIK Irjen Pol Drs Yazid Fanani, di kampus PTIK, Jakarta pada Rabu (9/6/2021).
Dewan Penyantun KKSS kelahiran Makassar 27 Desember 1947 tersebut, diharapkan memberi inspirasi dan motivasi kepada jajaran polri agar melahirkan polisi yang unggul.
“Kami puji semangat yang dimiliki Pak Chairudin Ismail yang terus berkarya. Sosoknya membanggakan seluruh jajaran polri dan masyarakat,” ujar Yazid Fanan.
Chairuddin adalah salah satu intelektual polisi yang piawai berdiskusi dan rajin menuangkan buah pikirannya di media.
Saat pidato pengkuhan, Chairuddin mengusulkan supayarparadigma hukum represif yang kerap digunakan kepolisian diganti dengan hukum persuasif.
“Hukum sebaiknya membahagiakan rakyat, bukan menyengserakan," kata dia.
"Karena itu, paradigma hukum persuasif penting untuk digunakan oleh polisi yang bertugas di negara dan masyarakat yang demokratis.
Dalam menjalankan fungsinya, polisi juga perlu menganut paham yang mengutamakan kebermanfaatan hukum bagi masyarakat,” katanya.
Dilansir Kompas, Chairuddin menjelaskan, gerakan reformasi yang digaungkan masyarakat sipil pada 1998 telah mendorong kepolisian mereformasi diri sejak tahun 1999.
Pengukuhan Chairudin dihadiri puluhan jenderal polisi, baik yang aktif maupun yang sudah pensiun, termasuk mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Badrodin Haiti.
“Kami bangga melihat semangat dan pengabdian Pak Chairudin Ismail yang tak pernah redup dalam mengembangkan pendidikan,” ucap salah seorang anggota senat STIK PTIK Prof. Adrianus Meliala.
Pakar ilmu kepolisian dari Universitas Bhayangkara, Edi Hasibuan menilai, pencapaian yang ditorehkan Profesor Chairudin patut diapresiasi.
Menurut Edi, tidak banyak tokoh memiliki keilmuan lengkap seperti Chairudin ismail.
Dia sangat menguasai ilmu kepolisian, buku-buku hasil karyanya cukup banyak. Selain itu, juga sangat mumpuni dalam praktik nyata di lapangan.
“Kami sangat bangga dengan sosok Pak Chairudin Ismail,” ucap Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia ini. (*)