Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ingat Jenderal Surojo Bimantoro? Kapolri Berani Lawan Presiden Gus Dur, Disuruh Mundur Tapi Menolak

Dalam catatan, Kapolri paling lama menjabat adalah kapolri pertama, Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo selama 14 tahun.

Editor: Ansar
Kolase Wikipedia
Kapolri ke-16, Jenderal Polisi Surojo Bimantoro dan presiden RI ke-4, Abdurrahahman Wahid atau Gusdur 

TRIBUN-TIMUR.COM - Ingat Jenderal Polisi Surojo Bimantoro? Kapolri ke-16 yang berani konflik Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur.

Gara-gara konflik Surojo Bimantoro dan Gus Dur membuat DPR RI turun tangan.

Sejarah mencatat, gara-gara pelantikan Kapolri baru, seorang Presiden RI dilengserkan DPR RI. 

Konflik muncul saat Gus Dur mengganti Jenderal Surojo Bimantoro dengan Jenderal Polisi Chairuddin Ismail sebagai Kapolri.

Dalam catatan, Kapolri paling lama menjabat adalah kapolri pertama, Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo selama 14 tahun.

Sementara itu, tersingkat adalah Jenderal Polisi Chairuddin Ismail.

Masa jabatannya hanya 2 bulan.

Baca juga: Ingat Jenderal Roesmanhadi? Kapolri Eksis Era BJ Habibie Pernah Diperiksa saat Pensiun, Kini Beda

Baca juga: Ingat Jenderal Rusdihardjo? Dulu Kapolri Lalu Diangkat Jadi Dubes, Dipenjara Gegara Kasus Korupsi

Jenderal Polisi (Purn) Chairuddin Ismail (lahir 27 Desember 1947; umur 73 tahun) adalah pensiunan perwira Polri.

Ia pernah menjadi Pejabat Sementara Kapolri menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro.

Saat itu, masa kepemimpinan Suroyo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri.

Gusdur dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat.

Tetapi belakangan, muncul ironi baru Gusdur "memecat" Bimantoro dan mengangkat Chairuddin tanpa persetujuan parlemen.

Kisruh pun terjadi di dalam internal Polri.

Padahal, Bimantoro baru menjabat 1 tahun dua bulan.

Baca juga: Dimutasi ke Polri, AKBP Iwan Irmawan Ungkap 34 Kasus Narkoba Selama Tugas di Sinjai

Baca juga: Sosok Irjen Ferdy Sambo Perwira Polisi Usul Cara Baru Tindaki Personel ke Kapolri, Punya Tujuan

Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka.

Presiden Gus Dur memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Bimantoro tegas tidak menoleransinya.

Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.

Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.

Kasus penangkapan dua eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada.

Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi.

Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan.

Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.

Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.

Baca juga: Ingat Jenderal Roesmanhadi? Kapolri Eksis Era BJ Habibie Pernah Diperiksa saat Pensiun, Kini Beda

Baca juga: Masih Ingat Orang Tua Bawa Jenazah Anaknya Pakai Motor? Kini Rumahnya Ramai Dikunjungi Politisi

Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni lalu.

Dalam insiden itu, jatuh satu pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat.

Presiden marah besar.

Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.

Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung,

Presiden meminta Bimantoro mengundurkan diri.

Namun, Bimantoro menolak.

Pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chairuddin Ismail sebagai Wakil Kapolri.

Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001.

Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseteruan Presiden dengan parlemen.

Pengangkatan Chairuddin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.

Masalah Polri ini semakin berlarut-larut.

Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia.

Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak.

Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden.

Baca juga: Ingat Nila Moeloek? Dulu Kehebatannya Sebagai Menteri Kesehatan Diakui Jokowi, Kabarnya Kini Beda

Baca juga: Ingat Jenderal Rusdihardjo? Dulu Kapolri Lalu Diangkat Jadi Dubes, Dipenjara Gegara Kasus Korupsi

Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis.

Pada tanggal 20 Juli 2001, dia melantik Chairuddin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal.

Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chairuddin hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.

Setelah Presiden Megawati Soekarnoputri dilantik, Chairuddin dicopot dari jabatannya.

Megawati menunjuk Jenderal Polisi Dai Bachtiar. 

Puji Tito saat jadi Kapolri

Surojo Bimantoro, menilai, tepat langkah Komjen Pol Tito Karnavian yang menyinggung isu kesejahteraan anggota Polri dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Kamis (23/6/2016).

"Jadi kesejahteraan kita ini lebih bagus dari pada dulu karena ada renumerasi, cuma remunerasi yang diberikan kepada polisi kemarin saya baru tahu juga baru 56 persen dari seharusnya yang diterima. Karena itu bagus dia (Tito) singgung itu," kata Bimantoro saat dihubungi wartawan di Jakarta, Senin (27/6/2016).

Kata Bimantoro, kewenangan yang melekat pada anggota Polri rentan disalahgunakan apabila kesejahteraan anggotanya minim.

"Jadi bagaimana kita itu pemikirannya sama. Kita dibiasakan, sejak jaman revolusi dulu, gaji nggak ada yang cukup ya kan. Tentara pejuang dulu makan dari rakyat semua, gak ada yang dari logistik, begitu kerja juga begitu. Kemarin Tito omongannaya udah benar," tuturnya.

Masih kata Bimantoro, kesejahteraan merupakan hal mendasar bagi setiap orang, temasuk bagi anggota Polri.

"Itu benar, itu masalah mendasar yang harus dikerjakan," ujarnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved