Opini Tribun Timur
Ketika Deddy Corbuzier Tak Kenal Jurusan Ilmu Perpustakaan
Demikian ungkapan pertanyaan Deddy Corbuzier saat berbincang di acara podcastnya, bersama Pembalap Nasional asal Bulukumba, Andi Gilang
Hery SIP
Pustakawan Dinas Perpustakaan Parepare
“Sarjana Ilmu Perpustakaan itu ada ?”
Demikian ungkapan pertanyaan Deddy Corbuzier saat berbincang di acara podcastnya, bersama Pembalap Nasional asal Bulukumba, Andi Gilang dan Youtuber Otomotif, Ridwan Hanif Rahmadi, beberapa waktu lalu.
Pertanyaan itu muncul ketika Deddy menyinggung latar belakang pendidikan Ridwan Hanif Rahmadi yang notabene saat ini eksis menggeluti dunia otomotif.
Saat Ridwan membeberkan bahwa dirinya berlatar belakang Ilmu Perpustakaan, raut wajah heran dan penuh tanda tanya pun tak terhindarkan muncul dari wajah Deddy.
Keheranan itu muncul bukan karena fakta perbedaan yang sangat jauh antara latar belakang pendidikan dan aktifitas yang digeluti Ridwan.
Tapi karena istilah Ilmu Perpustakaan sangat asing di telinga pria bernama asli Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo itu.
“Belajar apa ?” lanjut Deddy menanyakan. Masih dengan ekspresi penuh heran.
Kurang lebih semenit lamanya pembahasan tentang Ilmu Perpustakaan mewarnai podcast paling populer milik mantan pesulap itu.
Perbincangan tersebut tentu saja mengundang ketertarikan sejumlah elemen yang lekat dengan dunia perpustakaan.
Ada yang memberi apresiasi karena Ilmu Perpustakaan dibahas dalam acara podcast paling bergengsi se-Indonesia.
Meski pembahasannya muncul tiba-tiba dan tanpa disengaja, akan tetapi cukup membantu dalam menggaungkan identitas Ilmu Perpustakaan ke khlayak ramai dimana pun berada.
Selain itu, ada juga yang justru menjadikannya sebagai ajang refleksi terhadap kondisi Ilmu Perpustakaan yang tak kunjung dikenal eksistensinya.
Mereka bertanya-tanya, bagaimana mungkin podcast sekaliber Deddy yang terus menggaungkan “smart people” tak tahu bahwa ternyata Ilmu Perpustakaan itu ada ?
Menurut hemat penulis, ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Pertama, stigma perpustakaan di kepala sebagian masyarakat menganggap bahwa perpustakaan tak lebih dari sekadar tempat simpan-pinjam buku semata.
Termasuk mungkin Deddy salah satunya. Sehingga, mereka pun merasa sangat heran ketika perpustakaan--yang perannya sangat sempit itu-- justru dibukakan jurusan khusus untuk dikuliahkan di kampus-kampus.
Bukankah buang-buang waktu saja, jikalau harus menghabiskan waktu kurang lebih 4 tahun hanya untuk belajar tentang pengetahuan simpan-pinjam buku semata ?
Demikian kira-kira anggapan itu muncul di benak mereka.
Padahal, jikalau mau ditelusuri, peran perpustakaan jauh lebih luas dari itu.
Perpustakaan adalah pusat peradaban pengetahuan dan kebijaksanaan. Jikalau mau mengukur sejauh mana tingkat kemajuan suatu masyarakat, maka lihatlah iklim perpustakaannya.
Jika perpustakaan itu baik, maka baik pulalah masyarakatnya.
Bukankah hal ini sudah dibuktikan oleh berbagai peradaban dari masa ke masa ? baik itu dari Mesir Kuno, Yunani, Abbasyiah, hingga Barat Modern.
Semua menjadikan perpustakaan sebagai urusan prioritas dalam rangka membangun kemajuan bangsanya.
Mereka sangat mengamini bahwa perpustakaan adalah markas besar dalam menghadapi perang kebodohan dan ketidaktahuan.
Peran perpustakaan yang luas inilah yang mungkin belum sampai di telinga masyarakat pada umumnya.
Sehingga, kerap kali menempatkan perpustakaan sebagai urusan yang tak lebih penting dari lainnya.
Kedua, sosialisasi dan promosi perpustakaan masih perlu untuk digencarkan gerakannya.
Kita ketahui bersama bahwa, seluruh elemen dari berbagai kalangan telah berkali-kali mendengungkan dan mendendangkan bahwa stigma perpustakaan sebagai tempat simpan pinjam buku semata, mesti dihapuskan segera.
Sebab, perannya sungguh jauh lebih urgen dari itu.
Ia adalah ruang pemberdayaan masyarakat yang saat ini dikenal dengan istilah inklusi sosial.
Lewat konsep ini, perpustakaan menargetkan bahwa segala potensi yang dimiliki oleh masyarakat akan didorong pengembangannya agar bisa menghasilkan suatu produk dan karya yang berdaya.
Pertanyaanya, sudah sedalam mana konsep yang digaung-ganungkan itu membumi di akar rumput ? Jangan-jangan, hanya menjadi wacana populer di ruang-ruang maya saja, namun asing di dunia nyata.
Beberapa masyarakat pernah mengeluarkan keluh kesahnya di hadapan penulis, bahwa hasil karyanya sering kali dieksploitasi oleh perpustakaan di daerahnya.
Hanya dilirik, diminta dan diklaim saat ada lomba pameran saja, tanpa ada agenda pengembangan dan pemberdayaan yang dilakukan sebelum dan sesudahnya.
Jikalau ini benar-benar terjadi, bagaimana mungkin masyarakat akan menaruh perhatian lebih tehadap perpustakaan ?
Rentetan problem perpustakaan tersebut mesti menjadi perhatian kita bersama.
Khususnya yang konsen dengan dunia perpustakaan.
Perpustakaan mesti lebih sering mengoreksi diri, sejauh mana ia mengamalkan tugasnya sebagai ruang pencerdasan masyarakat dan sejauh mana pula ia menjalankan fungsinya sebagai pemberdayaan masyarakat.
Kata Ilham Mustamin (Penulis Buku Siasat Menikmati Kesemnjanaan), “Aktivitas membaca yang kurang dan pengelolaan perpustakaan yang buruk merupakan kombinasi sempurna menuju kebodohan paripurna”.
Mari berlindung kepada Tuhan dari ungkapan mengerikan itu.(*)