Opini Tribun Timur
Menjaga Napas Demokrasi
Kabar kurang menggembirakan datang dari Economist Intelligence Unit (EIU), Lembaga internasional yang fokus pada pengukuran index demokrasi
Oleh: Endang Sari
Komisioner KPU Kota Makassar
Kabar kurang menggembirakan datang dari Economist Intelligence Unit (EIU), Lembaga internasional yang fokus pada pengukuran index demokrasi di 167 negara di dunia, yang merilis hasil penilaiannya tentang Index Demokrasi Indonesia tahun 2020 dan menempatkan Indonesia pada posisi ke-64 dengan skor 6,3.
Angka tersebut merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
Bahkan Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi tidak sempurna atau demokrasi cacat.
Dalam penilaiannya, Ada lima indikator yang digunakan EIU dalam menentukan indeks demokrasisuatu negara, antara lain proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.
EIU memberikan skor 7.92 untuk proses pemilu dan pluralisme.
Sementara itu, fungsi dan kinerja pemerintah dengan skor 7.50, partisipasi politik 6.11, budaya politik 4.38, dan kebebasan sipil dengan skor 5.59.
Di kawasan Asia Tenggara, indeks demokrasi Indonesia sendiri ada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.
Hasil ini tentu merupakan teguran awal tahun yang harus segera dievaluasi serta diperbaiki.
Mengapa demokrasi penting? Pertama-tama karena demokrasi merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh, dan untuk rakyat.
Dalam Pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk, dan bersama rakyat.
Kekuasaan itu pada dasarnya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arahan yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan.
Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri, bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam artiyang seluas-luasnya.
Keempat ciri itulah yang tercakup dalam pengertian kedaulatan rakyat;diselenggarakan untuk rakyat, oleh rakyat sendiri, serta dengan terus membuka diri dengan melibatkan seluas mungkin peran serta rakyat dalam penyelenggaraan negara.
Berdasar rilis EIU, penurunan indeks demokrasi dunia terjadi secara global dibandingkan tahun lalu.
Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5.37, menurun dari yang sebelumnya 5.44.
Angka ini pun tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU mulai merilis laporan tahunannya
pada 2006 yang lalu.
Fenomena penurunan kualitas demokrasi memang sudah pernah diramalkan oleh dua profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di tahun 2018 melalui bukunya yang berjudul “How Democracies Die”.
Secara gamblang kedua professor tersebut menjelaskan bagaimana kualitas demokrasi menjadi turun dan perlahan-lahan menemui kematiannya.
Bukan lagi melalui Kediktatoran yang mencolok dalam bentuk fasisme dan komunisme, atau melalui kekuasaan militer yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, tapi melalui hasil pemilu.
Walaupun sebagian besar negara mengadakan pemilu secara teratur akan tetapi kemunculan sejumlah
pemimpin yang terkesan 'diktator' justru muncul melalui hasil pemilu.
Kemunduran demokrasi hari ini dimulai di kotak suara".
Peryataan tersebut tentu tidak diambil begitu saja, keduanya mengajukan tes penting bagi demokrasi terkait pemimpin politik, apakah para pemimpin politik, terutama partai politik, bekerja untuk mencegah para "demagog" demokrasi meraih kekuasaan-dengan tak memberi mereka tempat penting di partai, dan menolak bersekutu dengan mereka pada saat sebelum dan setelah Pemilu?
Selanjutnya adalah pertanyaan, Apakah pemimpin hasil pemilu tersebut tidak membajak demokrasi dan kekuasaannya tetap berada dalam lingkup perimbangan kekuasaan dengan lembaga lain?
Apakah konstitusi tetap dibela oleh partai politik dan rakyat terorganisasi juga oleh norma-norma demokratik?
Apakah lembaga-lembaga tidak dijadikan senjata politik yang digunakan untuk melakukan kendali dan menghantam mereka yang bukan bagian dari barisan?
Apakah pengadilan dan badan netral lainnya tidak dijadikan senjata meneguhkan kuasa? Apakah media dan sektor
swasta tidak terbeli kekuasaan atau tidak digencet agar diam? dan Apakah regulasi tidak diutak-atik agar keseimbangan kekuatan berubah merugikan lawan politik?
Jawaban pertanyaan test tersebut ternyata mengarahkan mereka pada kesimpulan bahwa, "Paradoks tragis jalan menuju kerusakan melalui pemilu adalah bahwa para pembunuh demokrasi menggunakan lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri--pelan-pelan, secara halus, bahkan legal--untuk membunuhnya".
Konteks Indonesia
Rendahnya penilaian index demokrasi untuk aspek kebebasan sipil, budaya politik dan partisipasi politik harus segera diperbaiki.
Terkait kebebasan sipil, kemunduran demokrasi bisa diidentifikasi pada cara pemerintah dalam merespon kritik, penanganan aksi unjuk rasa yang tidak persuasif, proses pidana yang banyak menimpa masyarakat sepanjang tahun 2020 karena jeratan undang- undang Informasi dan Transaksi Elektronik, juga pelecehan seksual yang marak diberitakan dan penanganan hukumnya masih jauh dari harapan, Hukum dianggap masih tebang pilih.
Budaya politik masih harus dikondisikan agar terwujud budaya politik partisipan di mana warga masyarakat menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Masyarakat diharapkan lebih berperan aktif dalam proses politik serta dapat terlibat dan dilibatkan dalam perumusan kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah.
Kondisi ini akan menjadi lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi.
Pada ranah partisipasi politik, keterlibatan aktif masyarakat menggunakan hak pilih pada Pemilu maupun pilkada harus dodorong agar semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
Iklim
politik dan regulasi yang memberi jaminan hak dan kesempatan yang sama bagi warga negara mengajukan diri untuk dipilih harus dipenuhi oleh negara.
Pendidikan politik bagi masyarakat harus dilakukan, agar masyarakat menjadi pemilih yang cerdas, otonom menentukan pilihan politiknya, tidak terprovokasi dengan isu SARA, tidak menyebarkan hoax, dan menolak politik uang.
Pelaksanaan Pemilu harus dikawal oleh seluruh elemen masyarakat mulai dari sekarang, dari proses perekrutan penyelenggara, persiapan tahapan , pelaksanaan, hingga penetapan hasil agar lahir pemimpin terbaik yang bisa menjamin rasa keadilan, berpihak pada kepentingan publik dan menyejahterakan.
Pada akhirnya demokrasi bukan hanya prosedur untuk memilih penyelenggara negara tetapi juga pelibatan warga negara seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan pada berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kepentingan umum.