Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Sawedi Muhammad

Sosiolog Unhas Ungkap Seteru Vaksin dan Masa Depan Dunia Pascapandemi Covid, AS-China Saling Tuding

Amerika dan Tiongkok saling menuding sebagai muasal virus Covid-19. Mereka berusaha merebut simpati dunia, menegasi keterlibatan negaranya

Editor: AS Kambie
Tim Appi-Rahman
Dr Sawedi Muhammad, Sosiolog Universitas Hasanuddin (Unhas) 

OPINI ini dimuat di Tribun Timur cetak edisi Senin, 3 Januari 2021. Dalam opini berjudul Anno Horribilis dan Jalan Terjal Menuju Annus Mirabilis, Dr Sawedi Muhammad mengungkap perdebatan pakar dunia seputar awal mula munculnya Covid-19 hingga gambaran masa depan dunia pascapandemi corona.

Anno Horribilis dan Jalan Terjal Menuju Annus Mirabilis

Oleh: Dr Sawedi Muhammad
Sosiolog Universitas Hasanuddin

“No one is safe, until everyone is safe”.
(Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Director General of the WHO)

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Sudah dua tahun dunia terpuruk akibat pandemi Covid-19. Tahun yang disebut sebagai “anno horribilis”.

Tahun yang diselimuti kepedihan, kesengsaraan dan kematian. Edward Carr (The Economist, 2021) menguraikan data yang mencemaskan.

Di bulan Oktober 2021, sudah sekitar 16,5 juta orang di seluruh dunia meregang nyawa dari sekitar 1,5-3,6 milIar yang terinfeksi virus Covid-19.

Meski angka kematian semakin berkurang, pandemi menurut Edward Carr tidak pernah mati.

Ia mereda sejenak untuk muncul kembali dalam formasi endemi seperti halnya demam dan flu biasa.

Manusia tidak punya pilihan. Ia harus bertahan menghadapi serangan virus sepanjang masa.

Kate Jones (2020), ahli virus dari University College London telah lama mengingatkan hubungan asimetris antara manusia dan alam dengan kehadiran virus yang mematikan.

Kate Jones kecewa karena dunia tidak memperdulikannya.

Kate Jones Jones mencatat, sejak tahun 1940-2004 terdapat 335 jenis virus baru yang berasal dari satwa liar.

Virus ini muncul karena kehilangan habitat akibat deforestasi, eksploitasi alam, serta pembukaan lahan secara berlebihan.

Habitat virus porak-poranda dan akhirnya menjadikan manusia sebagai host yang baru.

Perusahaan farmasi global dengan segala kecanggihannya berlomba membuat vaksin untuk mengatasi serangan virus yang sulit ditandingi.

Bagi mereka, menemukan vaksin bukanlah panggilan kemanusiaan atau menyelamatkan dunia.

Ia adalah ladang bisnis yang sangat menguntungkan. Ia mencari laba di tengah krisis peradaban yang sedang terseok. Industri farmasi sebagaimana industri persenjataan, oleh Joseph Rosenberger (1971) disebut sebagai pedagang kematian (the merchant of death).

Pedagang Kematian dan Apartheid Vaksin

Vaksin kemudian dikomodifikasi, diproduksi secara massif dan dijadikan sebagai barang dagangan.

Ribuan triliun dana mengalir ke industri-industri farmasi global.

Mereka menikmati keuntungan jumbo dari penjualan vaksin, meski miliaran manusia mengalami nestapa yang tak terperikan.

Pfizer misalnya, berhasil meningkatkan pendapatan sebesar 24,1 miliar dolar.

Vaksin berkontribusi sebesar 60% dari total penjualan tahun 2021 yang tahun sebelumnya hanya sebesar 1,7 miliar dolar.

Berdasarkan kontrak yang telah ditandatangani, Pfizer memproyeksikan keuntungan sebesar 29 miliar dolar dari produksi vaksin tahun 2022. (CNN Business, 2021).

Sementara untuk Sinovac, selama enam bulan pertama tahun 2021 telah membukukan penjualan sebesar 11,0 miliar dolar dengan keuntungan bersih sebesar 5,1 miliar dolar.

Selama pandemi, Sinovac telah memproduksi lebih dari 2,5 miliar dosis vaksin (business Wire, 2021). AstraZeneca tentu saja tidak ketinggalan di tengah pesta yang sedang berlangsung.

AstraZeneca membukukan pendapatan sebesar 15,54 miliar dolar di paruh pertama 2021.

Pendapatan perusahaan tumbuh sebesar 21 persen di tahun yang sama.

Pendapatan tambahan dari pasar yang sedang tumbuh sekitar 26 persen atau 5,50 miliar dolar, dan 455 juta dolar diantaranya diperoleh dari penjualan vaksin Covid-19 (European Pharmaceutical Review, 2021).

Deskripsi pendapatan tiga raksasa farmasi dunia menunjukkan siapa yang diuntungkan selama pandemi Covid-19 berlangsung.

Pfizer yang bermarkas di New York mewakili kedigdayaan Amerika. Sinovac yang berpusat di Beijing merepresentasi keunggulan Tiongkok.

AstraZeneca yang berkedudukan di Cambridge, mewakili supremasi Inggris.

Ketiga negara inilah yang menguasai suplai vaksin dunia. Karena keterbatasan kapital, teknologi dan sumber daya manusia, ketimpangan akses terhadap vaksin menimbulkan apa yang disebut oleh Vanessa S lanziotti (2021) sebagai vaksin apartheid.

Di bulan Agustus 2021, sebanyak 31,7 persen penduduk dunia telah menerima vaksinasi tahap pertama dan 23,7 persen menerima vaksinasi tahap kedua.

Sekitar 4,76 miliar dosis vaksin diproduksi secara global dan sebanyak 37,24 juta diproduksi setiap hari.

Akan tetapi, hanya sekitar 1,3 persen penduduk di negara berpendapatan rendah telah menerima paling tidak vaksin tahap pertama.

Terdapat beberapa inisiatif global untuk pemerataan vaksin. Salah satu diantaranya adalah program COVAX. Berkat usahanya, di bulan Agustus tahun 2021, COVAX telah mengirim 206 juta vaksin ke 138 negara. Inisiatif ini cukup berhasil.

Akan tetapi vaksinasinya masih jauh tertinggal dari negara-negara kaya. Pada tanggal 18 Agustus 2021, COVAX hanya mampu memvaksin 4,3 persen di Afrika (hanya 2,1 persen yang mendapat dosis kedua), 50 persen di Amerika Selatan (25 persen mendapatkan dosis kedua) dan 31 persen di India (8,3 persen menerima dosis kedua).

Angka ini sangat kontras dengan capaian vaksinasi yang sangat impresif di Inggris (58 persen), di Amerika (62 persen) dan di Tiongkok (87 persen).

Penyebab Virus dan Perangkap Thucydides

Meski paling diuntungkan dari bisnis vaksin, Amerika dan Tiongkok saling menuding sebagai muasal virus Covid-19. Mereka berusaha merebut simpati dunia, menegasi keterlibatan negaranya perihal musabab salah satu pandemi yang paling mematikan.

Meski tuduhan bahwa virus pertama kali ditemukan di sebuah pasar di Wuhan, hasil investigasi tim ahli WHO yang terdiri dari ilmuwan dari berbagai negara di bulan Januari 2021 menegaskan bahwa “sangat tidak mungkin” virus berasal dari laboratorium atau dari hewan.

Kemudian muncul laporan individu anggota tim yang menyebut investigasi dibatasi oleh China.

Kredibilitas hasil investigasi semakin jatuh saat Dr Peter Daszak, salah satu anggota tim dari Inggris, dituduh berhubungan dekat dengan laboratorium Wuhan Institute of Virology.

Hingga pada Juli 2021, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengeluarkan pernyataan yang mendorong agar China transparan.

WHO tidak mengsampingkan virus SARS-CoV-2 berasal dari laboratorium.

Di sisi lain, Amerika Serikat dan China saling tuduh menyembunyikan fakta-fakta Covid-19 (Detikhealth, Januari, 2022).

Persaingan dua kekuatan besar negara adidaya baik dari aspek ekonomi dan keamanan berpotensi menimbulkan apa yang disebut Graham Allison (2012) sebagai “Thucydides’s Trap”, jebakan Thucydides.

Menurut Graham Allison, jebakan Thucydides adalah kecenderungan perang akan terjadi apabila negara adidaya baru mengancam untuk menggantikan hegemoni regional dan internasional negara adidaya yang duluan eksis.

Tesis Graham Allison diperkuat oleh studi kasus yang dilakukannya di Belfer Center for Science and International Affairs, Universitas Harvard. Ia menemukan bahwa 16 kasus persaingan antara negara adidaya baru dan negara superpower yang sebelumnya eksis, 12 diantaranya berakhir dengan peperangan.

Perseteruan Tiongkok dan Amerika Serikat di berbagai front, menimbulkan spekulasi mengenai kemungkinan perang bersenjata yang paling mematikan dalam sejarah.

Apabila hal itu terjadi, maka keseimbangan ekonomi-politik global akan berubah dan menempatkan situasi keamanan dunia dalam posisi yang sangat berbahaya.

Pandemi adalah Portal

Sudah waktunya dunia bersatu melawan ganasnya virus Covid-19. Spekulasi tentang asal muasal virus sudah tidak relevan dibicarakan.

Virus terbukti memberi dampak negatif yang tak terperikan bagi peradaban manusia.

Ia memperburuk ketimpangan sosial, pengangguran dan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, korupsi dan manipulasi serta terhambatnya begitu banyak agenda dunia menuju kesetaraan.

Dunia harus menyadari bahwa tanpa kolaborasi mustahil pandemi dapat dihentikan.

Meski bisnis vaksin adalah otoritas industri farmasi, melanggengkan vaksin apartheid dan mengabaikan pemerataan akses terhadap vaksin hanya akan menjadikan pandemi seperti lingkaran setan yang berputar tiada akhir.

Sebagai penangkal virus di dunia yang tak berbatas (borderless), vaksin hanya akan efektif apabila diakses secara merata oleh semua bangsa tanpa kecuali.

Ia sejatinya tidak hanya dimaknai sebagai lokomotif pencari keuntungan, tetapi juga sebagai hadiah terbesar ummat manusia menuju dunia baru yang lebih setara.

Meminjam istilah Arundhaty Roy (2020), pandemi adalah portal yang menghubungkan antara satu dunia dengan dunia berikutnya.

Kita dapat berjalan melewatinya dengan menyeret segala bangkai prasangka dan kebencian, keserakahan, kebuntuan dan langit yang berkabut.

Atau kita melangkah pelan dengan sedikit beban, membayangkan dunia baru, dan siap berjuang mewujudkan peradaban yang diimpikan.

Selamat tahun baru 2022. Semoga tahun ini bertransformasi dari Annus Horribilis menuju Annus Mirabilis (tahun suka cita). Meski melewati jalan yang terjal, Annus Mirabilis adalah harapan semua bangsa.

Semoga motivasi para pedagang kematian tidak melulu tentang profit tetapi menyisakan sedikit ruang untuk memberangus vaksin apartheid.

Semoga jebakan Thucydides seperti yang dikhawatirkan Graham Allison tidak terwujud, agar harapan dunia tanpa penindasan, tanpa diskriminasi, tanpa perbudakan menjadi kenyataan.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved