Opini Tribun Timur
Guru di Tengah Arus Perubahan
Pendidikan Indonesia sedang berada di tengah arus perubahan berkat hadirnya berbagai perubahan kebijakan.
Dr Carolus Patampang SS MA
Dosen STIKPAR Toraja/Ketua Komisi Pendidikan/MPK KAMS)
Pendidikan Indonesia sedang berada di tengah arus perubahan berkat hadirnya berbagai perubahan kebijakan.
Melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah menyiapkan berbagai skema intervensi demi terwujudnya cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa sesuai amanat UUD 1945.
Kebijakan merdeka belajar yang diusung oleh pemerintah menelurkan berbagai macam program, antara lain organisasi penggerak, sekolah penggerak, dan guru penggerak.
Kebijakan ini melengkapi program pemberian kepastian hak guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) ataupun pengangkatan guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Satu hal yang pasti adalah program apa pun yang dicetuskan oleh pemerintah senantiasa terarah atau paling tidak beririsan dengan profesi guru.
Harus diakui bahwa perhatian pemerintah terhadap guru sudah semakin besar.
Inilah menjadi wujud konkret penyisihan anggaran negara yang cukup besar untuk mengangkat kualitas pendidikan.
Hal ini tentunya sejalan dengan kesadaran politis pemerintah untuk membangun semangat sumber daya manusia unggul.
Arus perubahan ini patut mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya.
Terlepas dari berbagai macam kontroversi yang terjadi, entah berkaitan dengan latar belakang kebijakan ataupun implementasinya di lapangan, keberanian pemerintah menerapkan kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kualitas telah menghadirkan suasana baru.
Demikian banyak insan pendidikan terbantu berkat kebijakan pemerintah.
Memang harus diakui situasi konkret di lapangan juga menyisakan berbagai macam persoalan.
Perekrutan guru PPPK yang pada mulanya dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan tenaga guru di berbagai wilayah justru menyulitkan para guru yang mengikuti seleksi.
Kondisi seperti ini menjadi awal hadirnya persoalan baru bila tidak segera ditangani dan dicarikan solusinya.
Kebijakan pemerintah menyangkut guru tidak boleh sekedar mengakomodasi kerinduan kepastian nasib.
Ujung dari kebijakan ini haruslah berupa peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia yang pada kenyataannya masih jauh dari harapan.
Hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment) terakhir telah yang memperlihatkan bahwa Indonesia termasuk negara yang berperingkat rendah pada bidang membaca, matematika, dan sains.
Niat luhur pemerintah untuk memberikan perhatian kepada guru, hendaknya disertai dengan keberanian menawarkan pilihan berbeda dibanding pola yang berlaku selama ini.
Dalam penerapan kebijakan, pemerintah pada tingkat pusat sampai di daerah seharusnya memiliki kepekaan nurani untuk mengabdikan keputusannya pada nilai luhur profesi guru sembari memperhatikan hal-hal berikut ini:
pertama, fokus awal kebijakan adalah membangun kebanggaan atau rasa cinta guru terhadap profesinya.
Melalui berbagai macam program yang telah atau sementara dirancang, para guru perlu diajak menempatkan panggilan mereka sejajar dengan profesi lain yang dianggap bonafit.
Selama ini, profesi guru kadang tidak mendapatkan tempat yang selayaknya bukan pertama-tama karena pandangan komunitas atau masyarakat, tetapi justru karena cerminan sikap dan mentalitas para guru sendiri.
Padahal, di beberapa kelompok masyarakat, profesi guru sudah dianggap sebagai profesi yang istimewa.
Sebagai contoh, ada kelompok masyarakat tertentu yang menyebut guru sebagai tuan guru.
Dengan sebutan ini, guru ditempatkan pada posisi yang elit di kalangan masyarakat. Sayang sekali, apresiasi ini tidak dimanfaatkan oleh para guru.
Di balik tingginya kebutuhan akan tenaga pendidik, banyak oknum guru yang tidak melihat panggilan mereka sebagai pendidik sebagai profesi idaman.
Kita dapat mengecek berapa orang guru yang mengarahkan anak-anak atau siswa mereka untuk menekuni profesi ini di masa mendatang.
Oleh karena itu, kebanggaan terhadap profesi ini harus menjadi prioritas dalam kebijakan ataupun program keguruan yang diputuskan oleh pemerintah.
Aneka macam program pelatihan ataupun pembekalan bagi para guru tidak boleh sekedar diisi dengan aktivitas peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan teknis.
Penyadaran akan martabat guru harus menjadi bagian integral dalam pelatihan ataupun pembekalan tersebut.
Para guru perlu diajak untuk menggali kembali pengalaman-pengalaman bermakna yang membuat mereka menekuni profesi tersebut.
Langkah selanjutnya adalah mendorong mereka untuk mengapresiasi pengalaman tersebut dalam rangka menumbuhkan kebanggaan mereka.
Para guru perlu didorong mendokumentasikan kebanggaan ini dalam bentuk tulisan ataupun memanfaatkan media sosial demi membranding profesi guru.
Kedua, pentingnya penerapan nilai demi menguatkan profesi guru. Selama ini, orientasi kebijakan pemerintah adalah hasil (output).
Sayangnya, hal ini kerap tidak menghormati dan cenderung melalaikan pentingnya proses.
Pemerintah sebagai penentu regulasi harus berani belajar pada lembaga-lembaga pendidikan swasta yang memiliki dasar yang sangat kuat dalam menelurkan program-program andalannya.
Kekuatan lembaga pendidikan swasta terletak pada nilai-nilai dasar (core values) yang mereka miliki.
Nilai-nilai dasar ini digali berdasarkan dinamika yang telah hidup di lembaga tersebut dengan berdasar pada cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga iman/moralitas, dan mewarisi semangat awal pendirian (sejarah pendiri).
Pemerintah sebenarnya telah berusaha menghadirkan core values yang dimaksud.
Usaha untuk menghadirkan profil Pancasila pada diri guru dan peserta didik pada dasarnya merupakan bentuk hadirnya core values.
Persoalannya adalah para guru cenderung menerimanya sebagai sesuatu yang datang dari luar diri mereka ataupun bersifat top down.
Akibatnya, mereka tidak merasa memiliki nilai-nilai yang dimaksud. Demi mengatasi persoalan ini, pihak terkait yang merumuskan sebuah program atau kebijakan yang berkaitan dengan para guru perlu melakukan perubahan pendekatan.
Process-oriented hendaknya lebih dikedepankan dibanding output-oriented.
Di dalam process-oriented, para guru yang terlibat dalam berbagai macam program, misalnya guru penggerak ataupun mereka yang mengikuti PPG, diajak terlebih dahulu berproses untuk menemukan nilai-nilai dasar yang hendak diperjuangkan.
Penggalian akan nilai ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode penemuan nilai.
Nilai-nilai inilah yang kemudian akan menjadi pondasi dan pilar-pilar hadirnya output dari program yang telah dirancang.
Pendekatan seperti ini memang membutuhkan waktu yang cukup panjang karena sangat mengedepankan tahapan refleksi dan perumusan mendalam.
Konsekuensinya, para pengambil kebijakan harus berani untuk mengubah segala macam paradigma birokrasi yang telah terbentuk selama ini.
Tidak jarang demi paradigma tersebut, proses harus dikorbankan. Akibatnya, hasil yang diperoleh pun sebagian besar sekedar menjadi sebuah dokumen yang tidak dapat diimplementasikan.
Para guru justru menjadi korban karena mereka dipaksa untuk berkegiatan atau merumuskan sesuatu sekedar demi membuat laporan yang tidak akan ditindaklanjuti.
Di tengah arus perubahan ini, para guru pun harus mengubah cara berpikir dan bertindak mereka. Kerinduan para guru kini terjawab melalui berbagai perubahan kebijakan.
Peluang pengembangan yang diberikan oleh pemerintah tidak boleh sekedar dipandang kesempatan perbaikan nasib dan kesejahteraan.
Tidak dapat dipungkiri program sertifikasi guru ataupun pengangkatan PPPK telah memberi kepastian ekonomi kepada para pendidik di negara kita; paling tidak mereka melaksanakan tanggung jawab mereka tanpa digelisahkan oleh persoalan finansial.
Para guru harus melihat dukungan ini sebagai sarana untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Sayangnya, fakta dari lapangan sudah menunjukkan bahwa aneka macam tunjangan kadang kala membuat begitu banyak oknum pendidik melalaikan prinsip-prinsip dasar keprofesian.
Demi pemenuhan administrasi sebagai prasyarat sertifikasi, misalnya, banyak oknum yang sekedar mengcopy paste RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang ditemukan di internet ataupun membuat laporan abal-abal.
Selain itu, para pendidik harus menyadari bahwa profesi guru merupakan profesi yang membutuhkan pengorbanan total.
Sejak awal mula, guru adalah man for others. Di masa lampau, pendidikan tidaklah pertama-tama dimaksudkan sekedar sebagai sarana pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.
Pada saat itu, sekolah merupakan entitas untuk menemukan dan merumuskan kebijaksanaan hidup. Sang guru pun berfungsi sebagai sumber kebijaksanaan bagi peserta didiknya.
Sebuah cerita menarik pernah dihadirkan oleh seorang guru yang merelakan hasil sertifikasinya dipakai untuk membiayai pendidikan seorang murid yang sudah terancam putus sekolah.
Kisah lain adalah kesediaan seorang guru di pedalaman yang berkeliling dari satu kampung ke kampung lain untuk mendampingi proses pembelajaran selama masa pandemi.
Kisah-kisah seperti ini menjadi sebuah pertanda bahwa di tengah arus perubahan para guru dituntut untuk menghargai martabat profesi melalui pelayanan yang paripurna.
Arus perubahan yang tercipta saat ini merupakan peluang memperkuat profesi guru.
Seluruh lapisan masyarakat hendaknya mengawal pemerintah agar arus perubahan ini tetap bertahan dan bahkan bergerak ke arah yang lebih baik.
Sudah saatnya untuk mengembalikan pendidikan ke semangat awal pendiri bangsa ini tanpa harus dipengaruhi oleh aneka kepentingan politis.
Pada akhirnya, perhatian yang telah diberikan oleh pemerintah tidak boleh disia-siakan oleh para guru sendiri.
Mereka harus menyambut secara antusias dan berpartisipasi dalam arus perubahan yang terjadi.
Ingatlah, penghargaan terhadap martabat guru pertama-tama terletak di tangan para guru sendiri.(*)
Tulisan ini juga diterbitkan pada harian Tribun Timur edisi, Kamis (25/11/2021).
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/dr-carolus-patampang-ss-ma-1-25112021.jpg)