Opini Tribun Timur
Penerapan Azas Hukum Ultra Petita dalam Memutus Perkara Korupsi
”Menurut istilah Ultra Petita berasal dari kata Ultra yakni Lebih, Melampaui, Ekstrim sekali dan Petita adalah Permohonan.
Oleh: Lutfie Natsir SH MH CLa
Pemerhati hukum dan pegiat antikorupsi
”Menurut istilah Ultra Petita berasal dari kata Ultra yakni Lebih, Melampaui, Ekstrim sekali dan Petita adalah Permohonan, Ultra Petita adalah Penjatuhan Putusan oleh Majelis Hakim atas suatu perkara yang melebihi Tuntutan atau Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.”
Penjatuhan hukuman pemidanaan terhadap seorang terdakwa sepenuhnya bergantung pada penilaian dan keyakinan majelis hakim terhadap bukti-bukti dan fakta yang terungkap di persidangan.
Sesuai Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya.
Majelis hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari rekuisitor penuntut umum. Putusan majelis hakim yang melebih ituntutan dari jaksa secara normatif, tidak melanggar hukum acara pidana.
Dalam praktiknya, sudah berkali-kali hakim menjatuhkan pidana penjara lebih tinggi dari yang dituntut jaksa.
Bahkan selain penjara, majelis hakim beberapa kali menaikkan jumlah denda atau uang pengganti yang harus dibayarkan terdakwa.
Pada prinsipnya, majelis hakim bebas dan mandiri menentukan hukuman. Tetapi tetap pada batas-batas yang harus dipatuhi.
Misalnya, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih tinggi daripada ancaman maksimum dalam pasal yang didakwakan dan tidak boleh menjatuhkan jenis pidana yang acuannya tidak ada dalam KUHP atau perundang-undangan lain.
Dalam banyak putusan Mahkamah Agung seringkali disebutkan bahwa lamanya atau berat ringannya hukuman yang dijatuhkan adalah wewenang judex facti.
Ini berarti hukuman yang dijatuhkan majelis tingkat pertama dan tingkat banding (yang disebut judex facti) sangat menentukan dalam perkara pidana yang menjadi ukuran bagi majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, bolehkah hakim menjatuhkan putusan yang ultra petita (melebihi apa yang dituntut)?
Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyebutkan:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya.”
Dari penjelasan di atas dapat disampaikan bahwa sekalipun jaksa tidak menuntut suatu pasal, hakim tetap dapat menggunakannya sepanjang jaksa telah memasukkan pasal itu ke dalam surat dakwaan.
Jika jaksa tak memasukkan pasal tersebut dalam surat dakwaan, tak ada pijakan hukum bagi hakim untuk menggunakan pasal itu menjerat terdakwa.
Oleh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa jadi, rujukan majelis hakim dalam memutus perkara adalah surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntutan.
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dalam hal terdakwa didakwa dengan pasal alternatif.
Maka pasal mana yang terbukti dalam persidangan didasarkan pada penilaian pengadilan pemutusan pemidanaan secara normative tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya bahwa putusan pemidanaan (veroordeling) dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP tersebut dapat terjadi jika, dari hasil pemeriksaan di depan persidangan, Majelis hakim berpendapat bahwa:
a. Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
b. Perbuatan terdakwa tersebut merupakan lingkup tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
c. Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta di persidangan sesuai Pasal 183 dan 184 ayat (1) KUHAP.
Kebebasan dan Independensi Hakim dalam Memutus Perkara menyimpulan KUHAP tidak mengatur bahwa putusan pemidanaan harus sesuai atau di bawah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Dalam kasus tertentu dimana ditemukan fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan sehingga hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari tuntutan jaksa, maka hukuman itu tidaklah melanggar hukum acara pidana.
Merupakan kewenangan daripada hakim memutus sesuai fakta persidangan dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum jika dirasa adil dan rasional.
Apalagi merupakan sebuah realitas bahwa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum tidaklah selalu sama atau sesuai dengan batasan maksimal ancaman pidana yang terdapat secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan.
Hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun tidak boleh melebihi batas maksimum ancaman pidana yang ditentukan Undang-Undang.
Meskipun ada kebebasan dan independensi hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan berarti tak ada batasan. Batasan-batasan dimaksud antara lain:
1. Tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. misalnya, pasal dalam KUHP memuat ancaman maksimal lima tahun, maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari lima tahun kepada terdakwa. tetapi hakim boleh menjatuhkan hukuman sama dengan atau lebih rendah dari lima tahun
2. Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya tidak ada acuannya dalam KUHP, atau peraturan pidana di luar KUHP.
3. Putusan pemidanaan itu harus memberikan pertimbangan yang cukup berdasarkan bukti. Dalam banyak putusan, Mahkamah Agung menyatakan putusan yang kurang pertimbangan (onvoldoendegemotiveerd) dapat dibatalkan.
Misalkan, pengadilan tinggi menambah hukum terdakwa lebih tinggi dari yang diputus hakim tingkat pertama tetapi kurang dipertimbangkan dan dijelaskan alasan menaikkan hukuman.
Putusan yang demikian dapat dibatalkan.
Jika Hakim Menaikkan Hukuman Selain Pidana Penjara, pertanyaan lanjutannya, apakah hakim boleh juga menaikkan hukuman selain pidana penjara, Praktik pengadilan selama ini menunjukkan bukti bahwa hakim dapat menjatuhkan hukuman denda atau ganti rugi daripada yang dituntut oleh jaksa.
Bahkan, sudah pernah terjadi dalam perkara korupsi, hakim memberikan hukuman tambahan sebagaimana dimaksud Pasal 10 KUHP berupa pencabutan hak politik meskipun jaksa tak memintanya dalam surat tuntutan.
Sebaliknya, adakalanya hakim tak mengabulkan permintaan jaksa agar hak politik terdakwa dicabut.
Ini menunjukkan bahwa mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat bergantung pada penilaian/keyakinan majelis hakim.
Dari penjelasan di atas dapat kami sampaikan bahwa sekalipun jaksa tidak menuntut suatu pasal, hakim tetap dapat menggunakannya sepanjang jaksa telah memasukkan pasal itu kedalam surat dakwaan.
Jika jaksa tak memasukkan pasal tersebut dalam surat dakwaan, tak ada pijakan hukum bagi hakim untuk menggunakan pasal itu menjerat terdakwa.
Tetapi hakim bukanlah sekadar corong undang-undang (la bouche de la loi). Hakim juga menjadi pemberi makna melalui penemuan hukum atau konstruksi hukum.
Dalam menegakkan hukum, hakim harus berusaha membuat putusannya adil dan berkeadilan.
Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, utamanya perkara korupsi yang menjadi atensi dan perhatian masyarakat.
Demikian sekadar kami disampaikan, semoga menjadi Amal Ibadah, Wallahu A’lam Bishawab, Jazakumullah Khairan......(*)
Tulisan ini juga diterbitkan pada harian Tribun Timur edisi, Kamis (4/11/2021).