Opini Tribun Timur
Minat Baca Bukan Persoalan Kemewahan
Lalu, bagaimana dengan masyarakat di negara seperti Jepang yang bahkan senang membaca di mana saja dan kapan saja.
Tidak hanya malas baca buku, tetapi juga seperti rendahnya produksi buku jika harus dibandingkan negara-negara tetangga, distribusi buku yang 90% hanya tersebar di Pulau Jawa, atau bahkan rendahnya fasilitas baca seperti yang dijelaskan Hidayat.
Yang menjadi pertanyaan, ibarat menjual, bagaimana negara kita akan memproduksi buku kalau tidak ada yang ingin membaca?
Apakah layanan pengiriman tidak bisa memaksimalkan distribusi buku yang bisa dengan mudah dipesan secara online, bahkan ada momen gratis ongkir?
Atau, ketika internet menyediakan bahan bacaan yang tidak terkira, kenapa masyarakat kita tidak memanfaatkannya untuk mengakses dan membeli e-book, melainkan lebih sering mengakses media sosial dan gim?
Sekilas, gejala-gejala tersebut sebabnya berasal dari persoalan rendahnya angka minat membaca. Dan karena rendahnya angka membaca menyebabkan gejala-gejala tersebut.
Lalu, kita harus memperbaiki apa dan mulai darimana?
Sistem Berpikir
Daniel H Kim dalam publikasinya mengenai Intoduction to Systems Thingking menjelaskan bahwa dalam menghadapi persoalan, gejala-gejala yang kita amati dan rasakan itu ibarat gunung es.
Sedangkan yang tak terlihat dari gunung es tersebut adalah pola dan tren, struktur penyebab, dan yang terdalam adalah model mental.
Pola dan tren yang terjadi lalu diuraikan struktur penyebabnya –termasuk para pelaku– yang mendorong pola dan tren terjadi.
Struktur penyebab kemudian diidentifikasi bersumber dari model mental yang membangunnya.
Terlebih persoalan sosial, model mental adalah sesuatu yang intangible (tidak berwujud) yang dibangun atas visi dan nilai nilai, atau prinsip-prinsip yang dipegang teguh para pelaku.
Sehingga hal-hal yang bersifat fisik termasuk penyediaan fasilitas tidak akan berperan besar dalam mendorong minat baca tanpa dilandasi oleh model mental –motif– yang menjadi alasan pengadaannya.
Alasan Membaca
Seringnya, perkenalan kita dengan buku dibuka dengan sangat kaku. Buku hanya ditemui kalau kita ingin belajar atau mengerjakan tugas.