Ayah Cabuli Putrinya
Kapolres Luwu Timur AKBP Silvester Simamora Disorot Usai Kunjungi Rumah 3 Anak Korban Rudapaksa
Sorotan dilayangkan Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Penulis: Muslimin Emba | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kunjungan Kapolres Luwu Timur AKBP Silvester Simamora ke rumah tiga anak korban kekerasan, menuai sorotan.
Sorotan dilayangkan Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Pasalnya, kehadiran AKBP Silvester Simamora dengan seragam lengkap dianggap tidak elok.
Bahkan cenderung bertolak belakang dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Begitu juga dengan kunjungan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Luwu Timur.
Berikut rilis resmi yang dibacakan pendamping hukum dari LBH Makassar, Rezky Pratiwi saat konferensi pers virtual, Selasa (12/10/2021) siang
"Setelah kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak di Luwu Timur menjadi sorotan, pihak
korban beberapa kali didatangi pihak Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur.
Kedatangan pihak-pihak tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada ibu
korban ataupun koordinasi dengan tim kuasa hukum, di antaranya pada:
1. Tanggal 07 Oktober 2021, siang hari, tim dari penyidik Polres Luwu Timur dan petugas P2TP2A Luwu Timur mencoba menemui para anak korban dengan alasan mengecek kondisi para anak.
Upaya tersebut dihalangi oleh pihak keluarga.
2. Tanggal 08 Oktober 2021, malam hari, tim dari Polres Luwu Timur yang dipimpin Kapolres memakai seragam lengkap mendatangi kembali dan menemui Ibu Korban.
Ibu korban yang saat itu tanpa ditemani kuasa hukum, diminta bicara dengan
direkam keterangannya untuk “menjelaskan ke media supaya tidak ada kesimpangsiuran berita”.
Kedatangan ini diikuti dengan beredarnya pemberitaan
dan foto Ibu korban bersama Kapolres, yang disebut-sebut bahwa ibu korban berjanji akan membawa bukti ke Polres Luwu Timur.
3. Tanggal 09 Oktober 2021, malam hari, tim dari Polres Luwu Timur mendatangi kediaman kerabat ibu korban untuk membahas soal ramainya “fakta yang tidak
berimbang” dalam pemberitaan kepada keluarga besar korban.
4. Tanggal 10 Okt 2021, pukul 10 pagi, 3 orang dari P2TP2A Luwu Timur kembali mendatangi pihak korban dengan alasan untuk mengambil data.
Namun, ibu korban menolak kedatangan mereka dan menyuruh mereka pulang.
Ibu korban sempat menegur salah satu dari orang yang datang karena mengambil gambar/video ibu korban secara diam-diam.
Pertama, kami menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh P2TP2A Luwu Timur dan
Polres Luwu Timur, yang mendatangi pihak korban.
Kedatangan pihak tersebut lagi-lagi menyalahi prinsip perlindungan terhadap anak korban.
Tindakan tersebut menunjukkan kembali Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur, tidak memiliki perspektif perlindungan korban dalam menangani kasus anak.
Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur seharusnya memahami bahwa kedatangan
mereka beserta publikasi dan peliputan oleh media telah menyalahi prinsip perlindungan
khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yakni hak atas kerahasiaan
identitas.
Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”
Larangan membuka identitas anak korban juga ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Identitas sebagaimana dimaksud meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan
jati diri Anak.
Perlu kami ingatkan kembali bahwa keberatan kami atas penghentian penyelidikan kasus juga karena karena adanya dugaan kuat kesalahan prosedur yang dilakukan oleh P2TP2A Luwu Timur dan Polres Luwu Timur, sehingga tidak
semestinya kedua pihak tersebut menemui pelapor/korban.
Kedua, kami juga membantah keterangan P2TP2A Luwu Timur di sejumlah media yang lagi-lagi menyimpulkan secara serampangan berdasarkan interaksi antara para anak korban dengan Terlapor selaku ayah kandung pada saat dipertemukan di P2TP2A Luwu Timur Oktober 2019 silam.
Ketiganya disebut dapat berinteraksi dengan baik dan harmonis dengan terlapor dan disebut:
“seakan-akan tidak pernah
ada yang terjadi dan tidak ada tanda-tanda trauma pada ketiga anak tersebut kepada
ayahnya”.
Selain kedua dokumen ini berasal dari proses yang berpihak pada terlapor.
Kesimpulan di dalamnya juga berbahaya dan justru dapat menyesatkan publik.
Dimana menurut Psikolog di Makassar yang memeriksa para anak setelah kasus ini
dihentikan, tidak ditunjukkannya trauma oleh anak bukan berarti kekerasan seksual
terhadap anak tidak terjadi.
Terlebih pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan
orang terdekat korban, yang umumnya tidak melakukan perbuatannya dengan
cara-cara kekerasan, melainkan bujuk rayu, tipu muslihat, atau manipulasi.
Pendapat keliru petugas P2TP2A Luwu Timur ini juga menunjukkan
lemahnya kapasitas petugas sehingga asesmen tersebut harus dikoreksi.
Di sisi lain dalam dokumen hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur sendiri justru terdapat keterangan para anak korban yang menceritakan peristiwa kekerasan
seksual yang dialami.
Sama halnya dalam Visum et Psychiatricum (VeP) terhadap
para anak korban, masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor.
Keterangan para anak korban dalam dua dokumen
tersebut justru diabaikan oleh penyidik Polres Luwu Timur dan prosesnya selanjutnya resmi dihentikan pada 19 Desember 2019.
Ketiga, kami menyayangkan respons POLRI yang menunggu bukti baru dari pihak pelapor
untuk dapat membuka kembali penyelidikan. Pernyataan itu dapat menyesatkan publik karena, seolah membebankan pembuktian pada pelapor.
Dalam perkara pidana polisi yang
punya kewenangan untuk mencari bukti bukan korban maupun masyarakat yang mencari
keadilan.
Seluruh bukti-bukti hanya dapat ditemukan, diambil melalui sebuah proses hukum.
Dengan ditutupnya proses penyelidikan melalui surat penetapan penghentian
penyelidikan, maka peluang untuk mendapatkan bukti-pun akan tertutup.
Sebaliknya, dibuka kembalinya proses penyelidikan akan membuka peluang terhadap munculnya bukti-bukti yang mendukung proses penegakan hukumnya.
Bukti-bukti yang menguatkan dan alasan mengapa penyelidikan harus dibuka kembali
telah disampaikan Pihak korban/kuasa hukum korban dalam gelar perkara di Polda Sulsel
sebelumnya pada 6 Maret 2020.
Seluruh dokumen tersebut hanya akan diserahkan dalam proses penyelidikan/penyidikan ataupun dalam rangka membuka kembali
proses tersebut sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Keempat Kami mempertanyakan komitmen Polda Sulsel untuk melakukan kembali
penyelidikan.
Sebab dalam Gelar Perkara Khusus Tanggal 6 Maret 2020 yang dilakukan atas permintaan kami di Polda Sulsel, tidak ditunjukkan keseriusan untuk membuka kasus ini.
Tim kuasa hukum telah mengajukan permintaan sejak 26 Desember 2019, yang selanjutnya
baru diminta hadir 6 Maret 2020, dengan undangan yang disampaikan pada 5 Maret 2020.
Dalam gelar perkara kami telah menyampaikan argumentasi hukum atas adanya sejumlah
pelanggaran prosedur dalam proses penyelidikan yang tidak sesuai dengan UU Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Serta menyerahkan dokumen yang dapat dijadikan bukti yakni Laporan Psikologis oleh Psikolog P2TP2A Kota Makassar tertanggal 20 Desember 2019.
Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa para anak korban mengalami kecemasan akibat kekerasan seksual yang dialami yang dilakukan oleh terlapor dan dua temannya.
Kami juga telah memberikan dokumen yang menunjukkan pelapor telah melakukan
pemeriksaan terhadap para anak korban di Puskesmas Malili dan mendapatkan surat
rujukan untuk berobat yang dikeluarkan oleh dokter lain, tertulis hasil diagnosa bahwa
para anak korban mengalami mengalami luka pada bagian intim dan child abuse.
Bahkan kami telah melakukan upaya dengan mengirim surat Keberatan atas Penghentian
Penyelidikan & Permintaan Pengalihan Penanganan Perkara, dengan Nomor : 004/B/KBH/VII/2020 tertanggal 06 Juli 2020 kepada Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri di mana kami juga telah melampirkan dokumen-dokumen yang dapat digunakan sebagai bukti, namun surat tersebut belum mendapatkan respon hingga saat ini.
Sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak membuka kembali proses penyelidikan
Kelima.
Kami meminta proses pidana kasus ini diambil alih oleh Mabes Polri atau setidaknya oleh Polda Sulawesi Selatan dengan supervisi Mabes Polri untuk memastikan tidak ada lagi kesalahan prosedur dalam prosesnya.
Untuk kembali membuka Penyelidikan kami mengacu pada Ketentuan Perkapolri No. 6
Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Mabes Polri dapat menindaklanjuti perkara melalui Gelar Perkara Khusus.
Dalam Pasal 33 ayat (1) Perkap ini disebutkan Gelar Perkara Khusus dilakukan dalam rangka merespons Pengaduan dari Pihak yang berperkara dan/atau penasehat hukumnya atau menindaklanjuti perkara yang menjadi perhatian masyarakat.
Selanjutnya menurut Penjelasan Pasal 1 angka 24 Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.
“Gelar Perkara adalah kegiatan penyampaian penjelasan tentang proses penyelidikan dan
penyidikan oleh Penyidik kepada peserta gelar dan dilanjutkan diskusi kelompok untuk mendapatkan tanggapan/masukan/ koreksi guna menghasilkan rekomendasi untuk menentukan tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan.”
Untuk itu berdasarkan ketentuan tersebut kami pun meminta agar dilakukan gelar perkara khusus dengan melibatkan sejumlah pihak selain fungsi pengawasan dan fungsi hukum Mabes POLRI, yakni termasuk pula ahli dari berbagai latar belakang dan perwakilan lembaga negara yang concern terhadap perlindungan perempuan dan anak.
Hal ini guna mendapatkan masukan berbagai pihak sehingga menghasilkan rekomendasi untuk mengoreksi proses penyelidikan yang telah dilakukan sebelumnya, serta dapat ditindaklanjuti dalam proses penyelidikan/penyidikan selanjutnya.