Tribun Makassar
Negara dan Keberpihakan
wacana tentang penertiban anak jalanan (Anjal) di Kota Makassar menjadi perhatian dari dari penggiat demokrasi Juanto Avol.
Oleh: Juanto Avol
TRIBUN-TIMUR.COM- Baru-baru ini, ada wacana tentang penertiban anak jalanan (Anjal) di Kota Makassar.
Pengamen, "Pak Ogah", peminta-minta dan sejenisnya akan dipusatkan dalam penampungan rumah singgah.
Melalui pesan singkat WhatsApp yang beredar, meme sosialisasi penegakan Perda no. 2 tahun 2008 kembali muncul dipermukaan, setelah sekian lama "koma".
Dalam pesan singkat itu, rencana Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan akan mengambil alih kewenangan dan tanggung jawab Pemkot Makassar.
Dari meme yang beredar, sosialisasi Perda itu justeru menimbulkan tanya, apakah Pemkot kering program penanganan sosial Anjal selama ini?
Hal lain, yang menjadi pemantik, tendensi penerapan Perda itu, soal sanksi hukum pidana kepada orang-orang yang memberi, bersedekah (kata seorang teman group) tak begitu diterima.
Dalam konteks agama, orang yang memberi/bersedekah dianjurkan.
Bagaimana mungkin, negara justeru hadir melarang dan mempidanakan.
selanjutnya, dari sisi apa publik kemudian melihat Perda itu?
karena bisa saja dari aspek nilai sosilogisnya akan tergerus, dan bukan soal penegasan orientasi "mulia" mendorong kesejahteraan dan ketertiban sosial.
Tidak tanggung-nanggung, aspek yuridisnya bagi orang yang memberi uang receh di jalananan kepada "Gepeng" akan didenda Rp1.500.000 dan atau kurungan 3 bulan.
Tentu, hal diatas musti dikaji ulang, potensi akan menjadi kontroversi, atau setidaknya harus berhati-hati dalam penegakan Perda tersebut.
Sebab, akan selalu muncul penafisran-penafsiran publik dalam konteks apa Perda itu diterapkan.
Tidakkah kita belajar dari Perda Sampah di Maros yang sempat mempidanakan seorang warga lalu tidak efektif?