Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Perang Kota

Hukum lex talionis(satu mata dibalas satu mata) seakan hidup di wilayah utara kota megah ini, kecamatan Bontoala dan sekitarnya.

Editor: Sakinah Sudin
Tribun Timur
Abdul Karim, Majelis Demokrasi & Humaniora 

Oleh: Abdul Karim, Majelis Demokrasi & Humaniora

HUKUM lex talionis (satu mata dibalas satu mata) yang kuno namun populer itu, yang konon berawal dari zaman Babilonia kemudian diadopsi kitab Yahudi adalah hukum pembalasan.

Bahwa orang yang mencederai orang lain harus pula dibalas setimpal.

Hukum itu seakan hidup di wilayah utara kota megah ini, Kecamatan Bontoala dan sekitarnya.

Beberapa hari terakhir, tawuran yang menyerupai perang berlangsung di sana.

Tak semua media meliputnya sebagaimana perang Irak vs Quwait/AS awal tahun 1990-an silam.

Mungkin itu perang kota yang kocak—tak ada perebutan minyak bumi menyertainya.

Mungkin juga itu perang tak bergengsi sebab hanya melibatkan kalangan kaum rudin di bawah.

Barangkali pula karena perang di sana bukan perang teknologi jaman now.

Atau bisa jadi pula lantaran perang di sana bukan perang melawan virus Covid 19—perang mutakhir dengan biaya tak nihil itu.

Namun, bukan karena itu perang di sana tak penting didiskusikan.

Sebab walau tak seviral “saya Satpol”, perang di sana telah menelan satu korban jiwa, belum terhitung yang terluka.

Kita prihatin dengan itu.

Apalagi, perang di sana merupakan kekerasan yang terus bertumbuh nyaris dari generasi ke generasi.

Perang di sana awet dan lestari.

Tiada hari tanpa perang.

Seolah hari tak indah tanpa perang.

Padahal di masa lalu, Bontoala adalah kampung yang subur dan damai.

Dari namanya saja kesuburan itu tergambar.

Dalam bahasa Makassar “bonto” (bukit), “ala” (hutan)—“hutan bebukitan”.

Sejumlah situs sejarah pernah ada di sana seperti istana Arung Palakka, Masjid Bontoala Tua yang dibangun Raja Gowa I Mangerangi Daeng Manrabia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV (1593-1639), dan lainnya.

Pada abad ke-17, Bontoala masih didominasi oleh hutan.

Di masa kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo sebelum tahun 1800, Bontoala kampung yang tenteram.

Ketentraman di sana kini lenyap sudah.

Setiap waktu, perang kelompok berkecamuk di sana.

Aktor-aktor perang terdiri atas usia di bawah umur (belasan tahun) hingga usia di atas umur (dewasa).

Perang di sana terus bertumbuh seiring bertumbuhnya kota ini menjadi kota pesat yang pekat.

Barangkali bunyi klakson kendaraan di sana jauh lebih sepi dibanding huru-hara perang.

Suara adzan dilantunkan di masjid memang mengalun merdu di udara.

Tetapi suara bebatuan yang menggelinding di atas atap rumah warga tak kalah nyaringnya.

Entah kapan sejarah perang kota dimulai di sana.

Tetapi rekan saya bilang, frekuensi perang di sana laksana resep obat dokter, tiga kali sehari.

Perang yang digencarkan bertubi-tubi bukan lagi problem hidup di sana.

Orang-orang terbiasa dengan itu.

Bila anak-anak sedang asyik menonton film kartun di layar TV lalu perang kelompok pecah di luar rumah—mereka bergegas keluar rumah menonton perang di layar nyata.

Tangis bayi di sana, bukan karena gemuruh perang, melainkan gigitan nyamuk atau pengap udara lantaran pemukiman yang padat.

Sebagian besar warga di sana seakan menganggap perang sebagai rutinitas.

Barangkali karena itulah, perang di sana bukan lagi sesuatu yang menakutkan.

Perang tak lagi mengerikan, tak lagi mencemaskan.

Di tengah wabah virus begini, masker tak laris di sana sebab yang dibutuhkan hanya batu dan busur sebagai ransum pokok peperangan.

“Prokes” tak berlaku di sana, yang absah hanya “proper” (prosedur perang).

PPKM sebagai metode siaga wabah juga tak terlalu ditaati, sebab siaga perang jauh lebih pokok.

Tetapi terjadi pergeseran jadwal perang kata rekan saya.

Dulu, perang kelompok berkecamuk di malam hari.

Kini, perang berdentum di pagi hari.

Bila di desa suara kokok ayam membangunkan penduduk, di Bontoala dan sekitaranya gemuruh peranglah membangunkan warga dari mimpinya yang indah.

Mengapa jadwal perang bergeser ke pagi hari?

Dugaan rekan saya, sebab warga yang terlibat peperangan tak punya aktivitas/pekerjaan di tengah wabah covid yang membatasi segala aktivitas.

Penduduk di sana rerata bekerja di sektor informal.

Pandemi dua tahun terakhir “mempensiunkan” mereka dari pekerjaannya tanpa maklum.

Di luar dari itu, rekan saya yang lain punya perspektif berbeda.

Ia bilang "seraya heran, bahwa perang kelompok di sana sunyi sepi jelang Pilkada atau Pemilu".

Mengapa begitu?

Jawabnya "tanyalah pada busur yang melayang". (*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved