CITIZEN ANALISIS
CITIZEN ANALISIS: Tak Heran Jika Rakyat Dianalogikan Sebagai Ternak
Kekuasaan yang efektif dikepalai penguasa yang bisa mengatur ternaknya, karena yang terpenting bagi ternak adalah makan dan terpenuhi segala kebutuhan
Sebuah hal yang janggal dan aneh bagi Xenophone jika ada “biri-biri” yang mogok, lalu menuntut pembagian hasil (nemontai) yang lebih adil pada penggembala.
Tapi nyatanya, menundukkan sekelompok manusia tak semudah menundukkan “biri-biri”.
Tidak ada penguasa, yang tak dihantui oleh penolakan rakyat akan sistem bagi hasil ataupun hukum (nomos) yang telah ditentukan oleh penguasa.
Dan Xenopohone cukup kagum kepada seorang penguasa yang bernama Kyros yang Agung, karena mampu menundukkan rakyatnya dengan cara menancapkan rasa ngeri yang diperlukan (phobos) dalam hati rakyatnya.
Maka Xenophone menekankan agar penguasa memliki keterampilan politik (politike tekhne), dan hal ini tentunya akan bermuara pada ketaatan sukarela dari rakyat, "ketaatan sukarela selalu lebih baik daripada kepatuhan yang dipaksakan", ungkapnya.
Keterampilan atau seni berpolitik merentang mulai dari kemampuan untuk mengatur jaringan mata-mata, mengatur arak-arakan di tengah masyarakat banyak, mengatur strategi militer, dan yang terpenting adalah kemampuan medistribusikan privelese politik di antara pejabat atau orang penting disekitarnya.
Jika ini dengan disiplin dilakukan oleh sang penguasa, maka dia akan mampu terus mengeruk untung dari rakyat sembari membuat mereka bahagia sehingga tak memiliki keperluan untuk menentang penguasanya.
Lalu beberapa waktu yang lampau, tidak sedikit para elit politik kita, tak henti-hentinya menuntut “ketaatan sukarela” bahkan “tak usah banyak tanya” karena alasan kedaruratan.
Tidak boleh ada suara sumbang, selain mengganggu stabilitas politik, maka dianggap “tak punya hati” karena menganggu fokus segala upaya memerangi pandemi.
Tak sedikit pula yang mengeluarkan pernyataan bernada mengancam, membatasi layanan publik, jika tak menjadi rakyat yang taat. Bahkan masukan dari para akademisi pun seringkali diacuhkan.
Yah mungkin saja, para elit bersangkutan adalah pembaca tekun dari gagasan-gagasan Xenophone (itupun jika mereka memang gemar membaca, baik sebelum ataupun setelah menjabat), yang menganggap peran-peran mereka selayaknya gembala (nomeus).
Rakyat cukup menjadi “biri-biri” yang menuruti kemauan para penggembalanya. Agar taat dengan sukarela, mesti diancam melalui pernyataan di media, agar tertanam rasa takut (phobos) di hati mereka.
Tugas penting rakyat adalah menjadi “biri-biri” penurut, yang normalnya tak usah banyak ikut campur dan protes mengapa para koruptor masa hukumannya disunat sana-sini, padahal salah satu koruptor yang bersangkutan lampau hari menyunat bantuan sosial buat warga negara yang rentan.
Dan saya pun ikut bingung, jika mereka betul menganggap kita “biri-biri” (apalagi jika dekat-dekat ini tidak ada momen pemilihan), apakah mereka mengalami hal traumatik sebagaimana Xenophone, yang menyaksikan gurunya dijatuhan hukuman mati oleh majelis rakyat Athena yang demokratis?
Kalau kita berbicara, siapa yang lebih layak trauma dan kecewa dengan label demokrasi kita selama ini, tentulah para rakyat jelata, buruh, nelayan, petani, pengangguran di lorong-lorong kota yang tak dianggap penting kecuali di hari pemilihan, dan ibu-ibu yang seringkali kesulitan memberikan nutrisi buat bayinya karena sang suami telah di PHK.
