Klakson
Solusi
Adam dan Hawa misalnya adalah solusi bagi dunia yang diciptakan yang nyaris dengan kesepian, tanpa manusia sebelumnya.
Oleh: Abdul Karim, Majelis Demokrasi & Humaniora
DIANTARA ciptaan Tuhan, barangkali manusialah satu-satunya ciptaan yang berkualitas "solusi".
Adam dan Hawa misalnya adalah solusi bagi dunia yang diciptakan yang nyaris dengan kesepian, tanpa manusia sebelumnya.
Disitulah peradaban manusia bermula.
Nabi-nabi dan Rasul yang diutus setelahnya juga adalah solusi bagi peradaban pada masanya.
Nilai-nilai ajaran yang mereka emban pun hingga kini pada intinya adalah solusi pula.
Maka pantaslah sebenarnya jika manusia disebut mahluk solusi atas segala soal yang muncul ditengah peradaban duniawi ini.
Kitab suci menyebutnya "khalifatul fil ardh". Artinya, manusia adalah wakil Tuhan di bumi, sebagai solusi untuk bumi dengan segala isinya.
Bukankah Tuhan adalah sumber segala solusi bagi segala persoalan dan kegetiran? Dan manusia adalah wakilNya.
Tetapi kini, kita patut bertanya; benarkah selama ini manusia berfungsi sebagai solusi?
Jangan-jangan kita hanya sebagai polusi.
Bila kita hanya menjadi polusi bagi manusia lain atau mahluk lain, sungguh sebuah kesialan yang tak indah.
Kita besuk kembali wabah Covid 19 dengan segala bentuk penanganannya.
Saat virus buatan itu merebak di tanah air, awal 2020 lalu orang-orang menganggapnya sebagai virus ilusi yang sengaja diciptakan untuk meremukkan kalangan agama tertentu.
Kian menukiklah diskursus itu di layar Medsos yang diiringi pula informasi-informasi korban jiwa terpapar Covid 19 bejat itu.
Di aras itu, Covid terseret menjadi materi debat kusir hingga debat teologi; yakin dan tak yakin dengan keberadaannya.
Padahal, di ruang-ruang perawatan rumah sakit, orang-orang terbaring lemah nyaris tanpa semangat akibat serangan Covid bejat itu.
Sementara di ruang-ruang isolasi, orang-orang bertempur melawan cemasnya, menanti kesembuhannya dengan ketakutan yang mengerikan.
Dalam konteks perdebatan demikian, manusia tampaknya tak berfungsi sebagai "solusi".
Bukan hanya karena kering solusi menghadapi Covid, tetapi juga perdebatan itu nyaris masing-masing meneguhkan diri sebagai kebenaran nyata.
Kebencian yang satu pada kelompok yang lain lantas tak sembuh-sembuh usai kebencian itu terpupuk dalam momentum Pemilu 2019 lalu.
Pada akhirnya, kita berkutat pasa kebencian, tanpa solusi atas persoalan yang mendera seperti Covid itu.
Ketika Covid benar-benar lantas dengan meyakinkan mengorbankan orang-orang, terbitlah soal baru.
Menteri Sosial Juliari Peter Batubara ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada awal Desember 2020 lalu atas kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Tentu saja ini bukanlah solusi. Ini justeru masalah. Masalah yang seharusnya tak terbit berhubung rakyat diserang derita ekonomi dan kesehatan gegara wabah Covid-19.
Kasus itu lalu senyap-senyap seiring ditahannya Mensos kader PDIP itu.
Tak lama kemudian, terkuak lagi kasus baru.
Pada penghujung April lalu, polisi membongkar kasus alat rapid tes antigen bekas di Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatra Utara.
Dalam kasus keji ini, oknum manajer bisinis PT Kimia Farma berinisial PM (45) disebut terlibat.
Kegiatan yang telah dilakukan sejak Desember 2020 itu, diperkirakan telah meraup keuntungan sekitar Rp 1,8 miliar.
Dari sinilah kemudian terlihat lagi bahwa "solusi" tak pernah kita perankan sebagaimana pantasnya.
Di tengah derita Covid, segelintir orang mendulang rupiah.
Barangkali begitulah masalahnya hingga bangsa ini terkesan rapuh dengan segala terpaan yang melandanya.
Bangsa ini lemah imun menghadapi kejadian-kejadian yang melandanya.
Imun yang lemah, fisik menyerah, lalu kerapuhan nyaris menggulungnya.
Solusi selalu jauh dari akal orang-orang berpengaruh.
Solusi selalu terkesampingkan dari nalar cerdik-pandai.
Memang solusi sering dibahas, tetapi dibabat sebelum dibumikan.
Akhirnya, negeri ini tandus solusi, namun subur masalah.(*)