Tribun Wiki
Mengenal Pakaian Tradisional Rampi Luwu Utara yang Terbuat dari Kulit Kayu
Mengenal Pakaian Tradisional Rampi Kabupaten Luwu Utara yang Terbuat dari Kulit Kayu
Penulis: Chalik Mawardi | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUNLUTRA.COM, RAMPI - Kecamatan Rampi adalah sebuah wilayah terpencil dan tertinggal di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Kendati begitu, banyak hal yang bisa dijumpai pada wilayah pegunungan Luwu Utara ini.
Misalnya di Desa Onondowa ibu kota Kecamatan Rampi, masih terdapat pengrajin pakaian kulit kayu.
Pakaian ini terus dipromosikan oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sebagai pakaian khas dari Rampi.
Pakaian ini memang khas dan unik, bukan saja karena bahannya yang terbuat dari kulit kayu, tetapi juga proses pembuatannya.
Seperti yang dijelaskan pada buku Rumah Peradaban Seko dan Rampi diterbitkan Balai Arkeologi Sulawesi Selatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dikutip TribunLutra.com, Minggu (30/5/2021), pakaian kulit kayu ini menjadi salah satu warisan leluhur yang masih dijaga oleh masyarakat Rampi.
Karena merupakan pakaian tradisional yang dipergunakan khusus pada upacara adat tertentu, seperti pernikahan dan penyambutan tamu.
Saat ini upaya melestarikan pakaian kulit kayu khas Rampi terus digalakkan.
Salah satu cara yang ditempuh oleh Pemkab Luwu Utara yaitu dengan membawa pakaian kulit kayu khas Rampi pada berbagai pameran dan even wisata dan budaya.
Poses pembuatan pakaian kulit kayu ini membutuhkan kesabaran dan kemampuan untuk mengetahui jenis pohon yang kulitnya dapat dipergunakan sebagai bahan baku pakaian kulit kayu.
Yonathan Tokii, salah seorang budayawan Rampi, menjelaskan bahwa jenis yang dipakai adalah pohon kayu yang mengandung getah.
Seperti beringin putih, kayu kalo, kayu ivo, kayu bea dan beberapa jenis pohon lainnya.
Setelah mendapatkan pohon yang tepat, misalnya dari tangkai pohon beringin muda akan diambil kulitnya.
Setelah itu dipisahkan antara kulit kasar dengan kulit halus, lalu direbus selama dua jam.
Setelah perebusan, kulit kayu tersebut dibungkus dengan menggunakan daun liwonu dalam versi bahasa Rampi.
Tujuan perebusan itu agar bahan kulit kayu itu menjadi lunak dan dapat diolah menjadi baju, selendang, topi, dan tas kecil.
Salah seorang tokoh muda yang turut melestarikan tradisi pembuatan pakaian kulit kayu adalah Muhammad Saldin.
Ia mengungkapkan bahwa setelah dibungkus menggunakan daun liwonu, kemudian didiamkan selama 4-5 hari.
Setelah semua selesai dilakukan proses utamanya yaitu mo haha.
Atau memukul kulit kayu agar menjadi satu untuk dibentuk menjadi baju, salendang, topi (siga) khas Rampi.
Alat yang dipergunakan untuk memukul tersebut dalam bahasa lokal disebut batu pe haha dan dalam dunia arkeologi disebut batu ike.
Alat pukul kulit kayu tersebut berupa blok batu bentuk persegi kotak yang dijepit dengan kayu yang berfungsi sebagai pegangan.
Masing-masing batu memiliki garis dengan interval jarak yang berbeda, semakin rapat interval jaraknya, akan semakin menghaluskan kulit kayunya.
Adapun warna tetap mempertahankan warna asli kulit kayu asalnya.
Tidak menggunakan bahan pewarna yang telah dicampur dengan bahan kimia.
Bahan pewarnanya dari getah pohon, getah daun, dan getah bunga.
Warna merah tua dihasilkan dari getah pohon yang sudah besar dan warna hijau dari getah daun dan bunga.
Menurut Yonathan Tokii, baju tradisional Rampi yang terbuat dari pakaian kulit kayu memiliki bermacam-macam motif.
Untuk laki-laki itu ada tiga, yaitu motif ular, motif beringin, dan tanduk kerbau.
Kalau perempuan ada lima motif yang dominan.
Motif yang terdapat pada baju adat tersebut memiliki makna tersendiri.
Motif tulang ular misalnya, digunakan oleh bangsawan.
Motif tersebut menunjukkan kekuatan.
Lebih lanjut Tokii mengatakan bahwa untuk pewarnaannya, pengrajin menggunakan akar dan daun yang berwarna.
Lalu kemudian untuk proses pembuatan baju tradisional tersebut terbilang cukup lama biasanya akan memakan waktu 14 hari.(*)