Inspirasi Ramadan Hamdan Juhannis
Bumi Kebermaknaan (21):Kedermawanan Tak Terbatasi Rasa Lapang dan Sempit, Kedermawanan Buah Latihan
enomana bahwa kebiasaan menderma dengan uang receh pada celengan masjid itu juga bentukan tradisi. Kita diajar membawa uang paling kecil di laci meja
Seri Ke-21 Inspirasi Ramadan 2021
Oleh: Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Tergerak untuk mencoret tentang kedermawanan.
Rupanya topik tentang memberi uang receh pada perempatan mendapatkan banyak respon.
Banyak yang memilih di kelompok pertama seperti yang saya duga, tapi tidak kalah banyaknya yang memilih pada kelompok kedua, seperti yang juga saya kira.
Yang menarik perhatian saya, respon dari seorang Profesor Emeritus, M Qasim Mathar, yang tidak cenderung pada salah satu kelompok berbagi uang receh di perempatan itu.
Pengelompokan tentang faktor "rasa" bagi yang suka memberi di perempatan jalan, dan memberi karena "rasio" bagi yang menolak memberi di tempat seperti itu, tidak masuk dalam kategori pilihan bagi beliau.
Dalam kajian yang Prof Qasim Mathar dalami dan dengan kekayaan pengalaman hidupnya yang panjang, menurutnya, berbagi itu pemicunya bukan dari motif rasa atau rasio.
Baginya, itu hanya motif langsung (direct motive) yang bukan menjadi motif utama (indirect motive).
Menurut beliau, penyebab orang rajin berbagi dalam situasi apa saja itu karena adanya proses pengentalan tradisi berbagi dalam dirinya.
Ada pembiasaan yang sudah berfungsi otomatis ketika melihat situasi di mana diri orang itu harus berbagi.
Pembiasaan ini tidak bisa dicapai tanpa proses.
Pembiasaan berbagi dibentuk oleh tradisi di mana si pembagi itu hidup.
Lingkungannya mendukung bagi munculnya jiwa kedermawanan.
Itulah Prof Qasim Mathar meyakini bahwa kedermawanan bukan karena "merasa" sebagai orang berada, atau bukan karena "merasio" sebuah situasi yang tepat untuk memberi.
Kedermawanan itu memang sudah menjadi prioritas perilaku sosial yang sudah sejak lama dilatih.
Kedermawanan itu tidak lagi dibatasi oleh situasi dirinya.
Kedermawaannya tidak lagi terbatasi oleh rasa lapang dan rasa sempit.
Tentu penalaran Bang Qasim Mathar begitu mencerahkan.
Tapi apakah orang yang menderma karena rasa atau karena rasio itu bukan bentukan dari pembiasaan juga?
Bukankah sebuah prinsip yang dipegang adalah buah dari worldview kita yang terbentuk dari pengentalan pengetahuan?
Lebih jauh, meminjam respon panjang dari seorang sahabat, Dr Barsih, bahwa bukankah tradisi mengajarkan, menderma itu harus tepat sasaran.
Bagaimana memahami tepat sasaran sebuah derma tanpa mempekerjakan rasio?
Sepertinya pertanyaan balik saya bisa mengundang riak baru, paling tidak untuk Bang Qasim Mathar.
Namun saya akhiri dulu dengan fenomana bahwa kebiasaan menderma dengan uang receh pada celengan masjid itu juga bentukan tradisi.
Kita diajar membawa uang paling kecil di laci meja yang sudah lusuh, kumal, dan kusut.
Dimasukkan pula ke dalam celengan yang hanya siap menampung uang kecil dari lubangnya yang sangat sempit.(*)