Mukjam Ramadan
Kala Birahi Umar Bin Khattab Tak Terbendung dan Dimaafkan di Bulan Ramadan
Menahan nafsu makan-minum adalah perihal berat, namun menahan nafsu syahwat duniawi adalah perihal TERBERAT lain.
Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Sakinah Sudin
Thamzil Thahir
Editor In Chief Tribun Timur
PUASA Ramadan adalah momentum latihan 30 hari untuk membedakan ITU (cuma) KEINGINAN dan ini (adalah) KEBUTUHAN.
Nah momen latihan inilah kita menapaki anak tangga mukminin; menjadi manusia bertaqwa (لعلكم تتقون) dan -senantiasa- bersyukur (لعلكم تشكرون).
Sebelum kalimat "uhilla lakum laitllata ashiami Rafasu ila nisaaikum" (kuhalalkan di malam puasa kalian "melampiaskan birahi" ke istri-istri mu" diperkenalkan di ayat detail puasa Ramadan (2:187); Allah lebih dulu memperkenalkan kalimat "hubbu syahwat" (خب الثهوت) di Ali Imran ayat 14.
"...Dijadikan kenikmatan mata manusia kecintaan kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta berlimpah dari emas, perak, kuda-kuda kokoh, binatang ternak dan sawah ladang atau tanam-tanaman. Demikian itu merupakan kesenangan hidup dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.”
Nah, kenikmatan peradaban duniawi itulah cobaan Ramadan datang; membatasi pelampiasannya.
Menahan nafsu makan-minum adalah perihal berat, namun menahan nafsu syahwat duniawi adalah perihal TERBERAT lain.
Nafsu makan atau rasa haus mungkin bisa direkayasa dengan teknologi diet, suplemen, dan nutrisi mutakhir temuan manusia.
Tapi apakah manusia dan teknologi bisa merekayasa syahwat bersenang-senang (nafsu birahi yang terbenam di lubuk hati, membekas di pikiran, dan jiwa?
Nah puasa jalan keluarnya.
Pemuda aqil baligh yang belum mampu menikah dan menafkahi; disarankan berpuasa.
Inilah yang menjelaskan kenapa di ayat Kuhalalkan "Rafasa" di malam puasa Ramadan (Albaqarah:187) secara lebih mendetail Allah menggunakan dua istilah lain untuk merujuk pelampiasan syahwat dasar manusia; mubasarah dan karabah.
Mubasyarah; ialah semua pendahuluan (forwarding) yang menjurus ke arah rafasa, seperti ciuman, pelukan, cumbuan, atau sekadar rayuan seksual.
Seperti saat larangan mendekati zina, Kalimat Laa Taqrabuha (jangan kamu mendekati) saat sedang dalam masa i'tiqaf
Ramadan di masjid karena itu sudah menjadi ketetapan Allah (hududullah) dan Allah tahu konskuensi cobaan Syahwat "Ramadan"
baca referensi Rafasa lainnya;
https://thamzil.wordpress.com/2021/04/16/5-frasa-birahi-diperkenalkan-pertama-kali-di-ayat-puasa-ramadan/
Di periode awal keRasulan Muhammad SAW, Alquran memperkenalkan kata birahi (rafasa) dalam kosa kata langsung, dan dengan frasa jahiliyah; jimak, basarah (menatapnya dengan nafsu) , atau qaraba (mendekati) Jimak (bersenggama).
Perintah bahwa pePuasa dilarang makan dan minum, sebenarnya sudah diketahui dan dijalankan di masa awal hijriyah.
Namun saat itu, ibadah puasa ini masih "ala kadarnya" dan merujuk tata cara puasa kaum-kaum terdahulu (kama kutiba ala latzina min qablikum).
Di praktik puasa "ahlul kitab" ini masih banyak umat Islam yang menjimak istrinya di siang, atau subuh hari; setelah sahur, bahkan ada sahabat yang diriwayatkan saat i'tiqaf Ramadan di masjid, pulang dan langsung masuk ke bilik istrinya.
"... Allah mengetahui bahwasanya kamu tak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Asbabun Nuzul (konteks turunnya ayat ketiga dan mendetail perintah puasa ini) sejatinya merujuk kisah sahabat Umar bin Khattab RA.
Dikisahkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, di satu malam Ramadan tahun 2 Hijriyah (642 M) atau 1440 tahun silam, Umar baru kembali dari majelis ilmu di rumah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Saat itu Umar pulang bersama Kaab setelah begadang di rumah Nabi di Yasrib, kini Madinah Al Munawwarah.
Sesampai di rumah, Umar memanggil istrinya, Qurayba bint Abi Umayya, "yaa habibi .."
Namun Quraybah merespons;
‘Saya telah tidur.’
Mendengar jawaban istri ke-3 dari 7 istri, sahabat tegas dan ahli strategi perang itu spontan tersenyum dan menjawab;
"Ohh, Tidak! Kamu belum tidur’,
Umar pun lalu "merafasu" istrinya, hingga masuk waktu subuh.
Sahabat Ka’ab juga diriwayatkan me-rafasu" istrinya, seperti ‘Umar. Di pagi hari, ‘Umar menemui Nabi dan menyampaikan peristiwa malamnya.
"Apakah yang telah kamu lakukan?" tanya Rasulullah.
Umar menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa."
Namun persoalan Umar dijawab dengan turunnya ayat 187 surah Albaqarah; "Uhilla lakum...."

Sekadar diketahui Rasulullah dan Umar adalah sahabat dekat.
Umar juga sekaligus ayah mertua Rasulullah; dari ummul mukminin Hafsah Binti Umar.
Kala ayat ini turun; Muhammad sudah berusia 52 tahun. Sedangkan Umar masih 43 tahun.
Seperti anak dan pejuang Quraish lainnya, Umar dibesarkan di lingkungan pra-Islam, pagan dan menyukai anggur dan wanita.
Umar tercatat memiliki 7 istri: 2 dari Mekkah dan diceraikan ditahun awal Hijriyah di Madinah.. (*)