Mukjam Ramadan
Kala Birahi Umar Bin Khattab Tak Terbendung dan Dimaafkan di Bulan Ramadan
Menahan nafsu makan-minum adalah perihal berat, namun menahan nafsu syahwat duniawi adalah perihal TERBERAT lain.
Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Sakinah Sudin
Ramadan di masjid karena itu sudah menjadi ketetapan Allah (hududullah) dan Allah tahu konskuensi cobaan Syahwat "Ramadan"
baca referensi Rafasa lainnya;
https://thamzil.wordpress.com/2021/04/16/5-frasa-birahi-diperkenalkan-pertama-kali-di-ayat-puasa-ramadan/
Di periode awal keRasulan Muhammad SAW, Alquran memperkenalkan kata birahi (rafasa) dalam kosa kata langsung, dan dengan frasa jahiliyah; jimak, basarah (menatapnya dengan nafsu) , atau qaraba (mendekati) Jimak (bersenggama).
Perintah bahwa pePuasa dilarang makan dan minum, sebenarnya sudah diketahui dan dijalankan di masa awal hijriyah.
Namun saat itu, ibadah puasa ini masih "ala kadarnya" dan merujuk tata cara puasa kaum-kaum terdahulu (kama kutiba ala latzina min qablikum).
Di praktik puasa "ahlul kitab" ini masih banyak umat Islam yang menjimak istrinya di siang, atau subuh hari; setelah sahur, bahkan ada sahabat yang diriwayatkan saat i'tiqaf Ramadan di masjid, pulang dan langsung masuk ke bilik istrinya.
"... Allah mengetahui bahwasanya kamu tak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Asbabun Nuzul (konteks turunnya ayat ketiga dan mendetail perintah puasa ini) sejatinya merujuk kisah sahabat Umar bin Khattab RA.
Dikisahkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, di satu malam Ramadan tahun 2 Hijriyah (642 M) atau 1440 tahun silam, Umar baru kembali dari majelis ilmu di rumah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Saat itu Umar pulang bersama Kaab setelah begadang di rumah Nabi di Yasrib, kini Madinah Al Munawwarah.
Sesampai di rumah, Umar memanggil istrinya, Qurayba bint Abi Umayya, "yaa habibi .."
Namun Quraybah merespons;
‘Saya telah tidur.’
Mendengar jawaban istri ke-3 dari 7 istri, sahabat tegas dan ahli strategi perang itu spontan tersenyum dan menjawab;
"Ohh, Tidak! Kamu belum tidur’,
Umar pun lalu "merafasu" istrinya, hingga masuk waktu subuh.
Sahabat Ka’ab juga diriwayatkan me-rafasu" istrinya, seperti ‘Umar. Di pagi hari, ‘Umar menemui Nabi dan menyampaikan peristiwa malamnya.
"Apakah yang telah kamu lakukan?" tanya Rasulullah.
Umar menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa."
Namun persoalan Umar dijawab dengan turunnya ayat 187 surah Albaqarah; "Uhilla lakum...."
