Klakson
Anak HP
BARANGKALI kita kaget membaca kabar benar yang beredar via grup WhatsApp baru-baru ini tentang ratusan anak di Jawa Barat dirawat
Abdul Karim
Anggota Majelis Demokrasi dan Humaniora (MDH) Sulsel
BARANGKALI kita kaget membaca kabar benar yang beredar via grup WhatsApp baru-baru ini tentang ratusan anak di Jawa Barat dirawat di rumah sakit jiwa akibat kecanduan game online dengan telepon seluler di tangan.
Pihak otoritas kesehatan jiwa setempat menuturkan, sepanjang tahun 2020 lalu sekitar 98 anak gangguan jiwa ditanganinya di sana.
Pada Januari dan Februari 2021 bertambah lagi, 14 orang pasien serupa menjalani rawat jalan akibat gangguan jiwa lantaran game online via handphone.
Usia mereka kisaran 7-15 tahun.
Begitulah sebuah efek menyakitkan anak-anak kita yang tumbuh di abad Android ini.
Mereka intens bersentuhan dengan gedget, entah itu untuk game online, entah untuk medsos.
Inti kata, handphone (HP) canggih telah menggenggam perikehidupan anak-anak kita.
Mungkin juga kita.
Ada yang menuduh Covid-19 biang keroknya.
Tampaknya kita lupa bahwa jauh sebelum virus durjana itu melanda, anak-anak kita telah mencandui HP.
Sebelum Covid-19 merebak, anak-anak kita begitu rutin bercengkrama dengan HP.
Saat Covid-19 menyerang, HP kian intim dengan anak-anak kita sebab proses belajar-mengajar dilangsungkan di layar HP (belajar via online).
Ruang kelas yang dulunya berukuran 10 m x 7 m tiba-tiba berubah seukuran sekian millimeter kali sekian millimeter--sesuai ukuran HP masing-masing.
Di sini, HP tak lagi sekedar game online bagi anak-anak kita.
Tetapi juga, ia menjadi ruang tempat belajar yang pokok.
Ungkapan bahwa "anak-anak identik dengan permen" kini benar-benar menjadi ungkapan kuno.
Sebab, kini permen tak lagi identik dengan anak-anak.
Mereka lebih identik dengan HP.
Apalah daya, posisi permen tergeser sudah oleh HP.
Barangkali karena itulah, HP kini diproduksi dan dijajakan laksana permen aneka rasa.
Lantas HP kian terasa sulit dipisahkan dengan anak-anak kita.
Anak tetangga rekan saya--konon saat buang besarpun di kakus HP senantiasa di tangannya.
Rekan saya yang lain menceritakan bila anaknya yang duduk di bangku kelas VI SD setiap malam terlelap dengan gedgetnya.
Tak lupa pula kabel listrik untuk charger menyertai pembaringannya.
Ini tentu fatal, kabel listrik dengan aliran listrik aktif yang dulu ditakuti orang-orang karena strumnya kini menjadi teman tidur anak-anak kita di rumah.
Mereka begitu intim dengan kabel-kabel itu.
Anak-anak kita sungguh 'samawa' dengan HP masing-masing.
Tak rela mereka dipisahkan.
HP seolah kebutuhan pokok mereka.
Seorang dokter di rumah sakit jiwa Jawa Barat mengatakan, sebagian anak-anak yang mengalami gangguan jiwa akibat game online via HP meronta dan mengamuk bila terpisah dengan HP-nya.
Emosinya cepat tersulut.
Ketergantungan yang merusak mentalitas itu sungguh sebuah kerusakan generasi.
Rusak, lantaran interaksi sosial langsung tak lagi menjadi kebiasaan hari-hari.
HP menjadi alat koneksi sosial mereka.
Rusak, lantaran mereka merasakan dunia yang sebenarnya bukan dunia.
Rusak, sebab mereka menganggap segala isi HP adalah kenyataan.
Rusak, sebab siasat menghadapi hidup tak dapat mereka warisi sebagaimana generasi lampau, contohnya?
Dalam hal olah kuliner misalnya, anak-anak kita tumpul di sini.
Sebab, makanan-minuman diordernya melalui perangkat gadget.
Modernitas memang menyuguhkan kita kemudahan.
Namun berbarengan dengan itu, ada hal yang harus dibayar mahal; "anak-anak kita susut esensinya sebagai manusia subjek", sebab mereka tak punya kemampuan dasar menyiasati hidupnya.
Sungguh sebuah kerusakan serius.
Fatalnya lagi, sebab mereka kini pandai berselancar di medsos.
Kita tahu medsos adalah teknologi yang sebenarnya kehilangan makna sosialnya.
Kita seolah "ditipu" di sini.
Unsur "media"--dalam arti instrumen penyampai --pada medsos memang berfungsi efektif.
Tetapi unsur "sosial" justru tak pernah ada secara utuh, sebab orang-orang terhubung dengan batas jarak yang tegas.
Di sinilah letak ketertipuan kita. Dan, anak-anak kita hari ini tertawan dengan itu.
Lantas di medsos, anak-anak kita pandai merangkai kata, namun dungu menangkap makna.
Medsos mengajari mereka pandai bergaul, tetapi bodoh bermasyarakat.
Medsos memperkenalkan anak kita tentang orang-orang, tetapi gagal mengenalkan tentang manusia dan kemanusiaan.
Kalimat-kalimat Tuhan pun bersileweran di medsos, tetapi anak-anak kita tak faham siapa itu Tuhan.
Dan kita patut cemas di abad yang getir ini, sebab bagi anak-anak kita tubuh mereka adalah HP, keluarga mereka adalah HP, teman mereka adalah HP, permainan mereka adalah HP, guru mereka adalah HP, arena rekreasi mereka adalah HP, mimpi mereka dilarut gelap adalah HP--dan semoga Tuhan mereka bukanlah HP.(*)