Kolom Teropong
Kolom Teropong Abdul Gafar: Mulus
Dalam kehidupan kita sehari-hari menjadi mulus merupakan dambaan. Boleh jadi biaya lainnya ditekan seirit mungkin demi mencapai kata ‘mulus’
Dalam kehidupan kita sehari-hari menjadi mulus merupakan dambaan yang diharapkan.
Bagi seorang perempuan yang mencintai keindahan tubuhnya, berapapun pengorbanan yang dikeluarkan demi mulus bukanlah halangan.
Semua harus kelihatan mulus dan licin serta berkilap.
Boleh jadi biaya lainnya ditekan seirit mungkin demi mencapai kata ‘mulus’ dan enak dipandang mata sendiri dan mata orang lain.
Demikian halnya pengembangan suatu bangsa dan negara diharapkan berjalan mulus dalam setiap programnya.
Semisal pemilu, baik itu pada tingkat pilkada, pilwalkot, pilgub, maupun pilpres harapan kita semua adalah tetap berjalan mulus tanpa riak dan gejolak yang dapat mengganggu proses yang berjalan hingga penetapan.
Ini kondisi ideal yang didambakan.
Walaupun dalam kenyataan, tetap saja ada pihak yang tidak merasa puas.
Dinamika pertumbuhan dan perkembangan masyarakat bangsa berbeda-beda. Ada yang cepat beradaptasi, ada pula yang bersikap lamban. Terkadang terjadi perdebatan yang tampaknya serius dalam melihat sesuatu permasalahan. Lalu pada akhirnya diambil kesimpulan yang keliru.
Seorang terkemuka yang pernah memimpin negeri ini mengatakan bahwa kelompok bangsa di dunia ini dalam bekerja ada bermacam-macam.
Pertama, ada yag sedikit bicara, sedikit kerja. Kedua, ada yang sedikit bicara, banyak kerja.
Ketiga, ada yang banyak bicara, banyak kerja. Dan keempat, ada yang banyak bicara, sedikit kerja. Lalu ada yang bertanya : “bangsa Indonesia masuk kategori mana “? Yang ditanya mengatakan bahwa “bangsa Indonesia tidak masuk semua kategori di atas”. Lalu ? Ternyata negeri ini dikatakan bahwa “bangsa Indonesia antara apa yang dibicarakan dan yang dikerjakan beda”. Lucu juga komentar ini.
Bangsa kita terutama kalangan elite, senang berdebat hingga berlama-lama.
Kalau terjadi seperti ini di negeri kita, berarti proses akan berjalan tidak mulus. Perdebatan yang luar biasa sengitnya.
Lalu, keputusannya menghasilkan sesuatu yang berbeda. Hal ini dianggap biasa. Perlu terlihat oleh publik, bagaimana sengitnya dalam perdebatan, namun hasilnya sudah dapat dipastikan akan loyo. Ada juga yang terlihat mulus-mulus dalam perdebatannya, hasilnya adalah diterima dengan suara bulat. Terlihat mulus karena akal bulus saja.
Kerja kalau akan ada kunjungan petinggi negeri. Misalnya saja jalan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah tersentuh oleh perbaikan, dapat seketika disulap menjadi mulus, licin, dan bersih karena sang pejabat akan lewat di situ.
Rakyat akan menikmati kesenangan sementara saja. Seiring waktu berlalu, jalan itu akan kembali rusak karena dikerjakan supercepat.
Pejabat-pejabat tinggi perlu berkunjung ke daerah-daerah secara rutin, agar jalan yang akan dilaluinya selalu terlihat mulus,bersih,dan rapi. Ini namanya diakal-akali. Jadinya kalasi.
Rute perjalanan seorang pejabat tinggi negeri biasanya sebelum dilewati sudah harus ‘mulus’ dari kemungkinan gangguan di jalan.
Ratusan hingga ribuan aparat keamanan diturunkan, baik yang berseragam maupun yang tidak berseragam sudah dipastikan menduduki pos yang telah ditetapkan komandannya.
Arus pergerakan manusia dan kendaraan sudah dibatasi sebelum sang pejabat tinggi lewat. Semua harus berjalan mulus.
Penulis teringat peristiwa beberapa tahun lalu. Saat itu ada seorang pejabat tinggi negeri akan lewat.
Kebetulan juga penulis akan ke Jakarta sebagai pemimpin rombongan mahasiswa Ilmu Komunikasi Unhas studi media.
Penulis sempat berdebat dengan petugas karena tidak diizinkan memotong jalan yang akan dilalui sang pejabat. Sempat tertahan.
Padahal pesawat tidak akan menunggu penumpang jika terlambat. Wah, pejabat mulus jalannya, sementara kita rakyat tidak begitu. Baru tahu ya.
Abdul Gafar, Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar