Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Rubrik Opini Tribun Timur

Pembelajaran dari Gempa Sulawesi Barat dan Tohoku-Jepang, Gempa Sulbar 105 Meninggal, Gempa Tohoku 0

guncangan utama gempa Sulbar berkekuatan 6,2 SR. Guncangan gempa Tohoku tercatat berkekuatan 7,3

Editor: AS Kambie
dok.tribun
Rifqi Tenribali Eshanasir, mahasiswa internasional di Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Jepang 

Tulisan Rifqy Tenribali Eshanasir ini dimuat juga di Rubrik Opini Tribun Timur halaman 15 edisi Sabtu, 27 Februari 2021, dengan judul Pembelajaran dari Gempa Sulawesi Barat dan Tohoku-Jepang. Dalam tulisan ini, Rifqy Tenribali Eshanasir mengupas perbandingan korban gempa Sulbar di Indonesia dan korban gempa Tohoku di Jepang. Rifqy Tenribali Eshanasir berusaha menjawab mengapa gempa Sulbar menelan ratusan korban jiwa, sedangkan korban Tohoku nihil korban padahal guncangannya lebih besar. Rifqy Tenribali Eshanasir adalag mahasiswa internasional di Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Jepang.

Rifqy Tenribali Eshanasir
mahasiswa internasional di Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Jepang.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Indonesia dan Jepang merupakan negara yang rawan bencana, termasuk gempa bumi.

Seperti diberitakan secara luas, gempa bumi terjadi baru-baru ini di beberapa bagian di kedua negara yaitu Majene dan Mamuju di Sulawesi Barat, Indonesia, dan di Tohoku, Jepang.

Namun, patut dicatat bahwa meski gempa Tohoku memiliki magnitudo yang lebih tinggi, jumlah korban dan kerusakan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kejadian gempa Majene di Sulawesi Barat, Sulbar.

Jepang jelas telah menunjukkan kapasitas dan resiliensi sangat tinggi dalam mitigasi bencana yang dapat dipelajari dan diadaptasikan di Indonesia sesuai konteksnya.

Untuk lebih memahami perbandingan tersebut, mari menyegarkan ingatan kita tentang gempa bumi baru-baru ini di Indonesia dan Jepang.

Atau mari memahami perbandingan gempa Majene dan gempa Tohoku, atau korban gempa Sulbar dengan korban gempa Tohoku.

Awal tahun ini, pada tanggal 15 Januari 2021, serangkaian gempa bumi melanda Majene dan Mamuju, atau gempa Sulbar. Gempa bumi berskala 5,7 terjadi, mengejutkan penduduk daerah tersebut.

Beberapa jam kemudian terjadi guncangan utama berkekuatan 6,2 skala Richter yang mengakibatkan lebih dari 105 orang meninggal dunia dan 3300 lainnya luka-luka.

Saat gempa terjadi, baik sistem komunikasi maupun aliran listrik padam. Di wilayah tersebut, lebih dari 15.000 orang mengungsi dan 6000 bangunan rusak termasuk rumah, sekolah, dan rumah sakit.

Bahkan dilaporkan satu rumah sakit runtuh seluruhnya dengan pasien dan staf terperangkap di dalamnya.

Beberapa minggu kemudian, gempa susulan terjadi di awal Februari bahkan menewaskan 1 korban jiwa.

Sebulan setelah gempa utama di Indonesia, atau gempa Sulbar, tersebut, gempa bumi juga mengguncang wilayah Tohoku di Jepang pada tanggal 13 Februari 2021, atau gempa Tohoku.

Guncangan gempa Tohoku tercatat berkekuatan 7,3 dan dikategorikan dalam tingkat intensitas seismik maksimum '6 Atas', tingkat tertinggi kedua menurut kishouchou atau Badan Meteorologi Jepang.

Sekitar enam prefektur terdampak guncangan tersebut, terutama prefektur pesisir Miyagi dan Fukushima yang mengakibatkan lebih dari 100 orang terluka.

Namun, sangat berbeda dengan gempa Sulbar, tidak ada kematian yang tercatat akibat gemppa Tohoku.

Hebatnya lagi, meskipun hampir satu juta rumah kehilangan aliran listrik akibat gempa Tohoku, tapi sebagian besar penduduk segera mendapatkan kembali aliran listrik keesokan harinya.

Insiden gempa Tohoku itu terjadi menjelang peringatan 10 tahun Gempa Besar Tohoku 2011, gempa berkekuatan 9,0 yang dianggap sebagai gempa terkuat yang pernah dialami Jepang.

Mengapa mitigasi bencana dan resiliensi Jepang lebih kuat?

Apakah ini hanya karena infrastruktur yang lebih baik?

Saya yakin kontribusi signifikan dari faktor pendidikan juga mendasari.

Tentunya upaya pemerintah Jepang untuk menjadikan negaranya kokoh secara infrastruktur terhadap bencana sangat mempengaruh mitigasi dan ketahanan terhadap bencana, namun upaya Jepang dalam pendidikan atau Literasi Kebencanaan juga tidak dapat diabaikan.

Salah satu fitur terpenting mitigasi bencana Jepang adalah bahwa baik aktor negara maupun sukarelawan berperan penting meningkatkan kesadaran dan Literasi Kebencanaan masyarakat bagaimana bertindak menghadapi bencana alam termasuk gempa bumi.

Dari sisi negara, semua tingkat pemerintahan Jepang, dari pusat hingga daerah/kota, memberikan pendidikan bencana dan rencana aksi bencana. Hal ini memungkinkan pengembangan rencana mitigasi bencana khusus kawasan yang memperhitungkan risiko dan geografi unik suatu wilayah. Misalnya, Badan Meteorologi Jepang memberikan lokakarya bagaimana menghadapi hujan lebat dan angin topan untuk komunitas yang sering terdampak.

Bahkan ada hari nasional yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran bencana seperti Hari Pencegahan Bencana bousai no hi setiap tanggal 1 September, serta Pekan Pencegahan Bencana atau bousaishuukan pada minggu setelah 30 Agustus.

Sekolah-sekolah di Jepang pun diwajibkan untuk melaksanakan rencana keselamatan sekolah dan merancang latihan rutin menghadapi berbagai jenis bahaya dan bencana.

Staf sekolah dan lembaga pendidikan lainnya juga dilatih dengan keterampilan pertolongan pertama dan konseling.

Upaya masyarakat dan relawan Jepang dalam menggalang pendidikan kebencanaan nasional juga signifikan.

Contohnya adalah jishu bousai soshiki atau organisasi pencegahan bencana independen.

Mereka adalah kelompok relawan yang bekerja dengan lingkungan dan komunitas lokal mengadakan program pelatihan darurat dan latihan bencana mandiri.

Relawan ini sering bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membuat acara pendidikan bencana gratis melengkapi upaya negara yang frekwensinya lebih jarang.

Kesukarelawanan bencana seperti ini semakin populer di Jepang sejak Gempa Besar Kobe tahun 1995, di mana sukarelawan Jepang berkumpul untuk membantu para korban di Kobe.

Sejak itu, budaya proaktif, waspada dan siap menghadapi bencana setiap hari tanpa ketergantungan penuh pada pemerintah telah berkembang di Jepang.

Singkatnya, kolaborasi pemerintah dan masyarakat sangat penting untuk mengurangi kerusakan dan korban jiwa akibat bencana alam.

Dengan pendidikan bencana yang canggih ini bersama dengan infrastruktur tahan bencana yang kuat, terlihat jelas kesiapan/resiliensi Jepang dalam menghadapi dan pulih dari guncangan. Indonesia tentu dapat belajar dari Jepang dan menyesuaikannya dengan konteks negara kita.

Karena kedua negara memiliki kedekatan dan sejarah hubungan yang panjang  maka kerjasama memperkuat mitigasi bencana di Indonesia, termasuk pendidikan bencana, seharusnya diutamakan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved