Gempa Sulbar
Pengungsi Gempa Sulbar: Kami Bahagia Listrik Kembali Menyala
PLN tak butuh waktu lama memulihkan secara bertahap aliran listrik yang terputus akibat gempa Sulbar
Penulis: Sukmawati Ibrahim | Editor: Suryana Anas
Zahrah dengan santainya melanjutkan untuk bermain Free Fire. Tetapi tak bisa ia pungkiri kalau rasa trauma karena gempa tadi siang tidak hilang.
Sembari bermain, ia juga memandang sekelilingnya dengan perasaan was-was.
Tiba-tiba, gempa susulanpun datang dengan kekuatan magnitudo 6,2 pada 02.28 Wita dini hari.
Gempa itu mengayungkan tubuh Zahrah dan keluarganya. Hingga mereka mesti menahan getaran agar tidak terjatuh dan terbentur ke lantai.
"Saat gempa susulan hebat itu terjadi, saya langsung menuju ke kamar orang tua. Waktu itu bapak saya tersendak dan tidak bisa bergerak, mungkin karena panik. Mama saya marah-marah karena panik. Jadi, sarung bapakku saya lepas dan menarik tangannya supaya mau jalan," jelas Zahrah.
Aktivis perempuan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tetap berusaha menyelamatkan keluarganya.
Ketika mereka berlari melalui dapur, tiba-tiba getaran gempa semakin menguat, suara reruntuhan, kaca, dan tangis bercampuraduk.
Saat itu juga, semuanya gelap karena listrik seketika padam.
Getaran berlangsung cukup lama hingga memakan waktu beberapa detik. Zahrah dan keluarganya sedikit menenangkan diri di luar rumah.
Dalam situasi sulit tersebut, ia berusaha menahan rasa takut. Zahra tak bisa melihat dengan jelas karena gelap gulita.
"Waktu gempa semakin kuat. Saya tidak memikirkan diriku lagi. Bahkan saat orang tuaku kutarik ke luar rumah. Kami tidak lagi memakai alas kaki, apalagi dengan kondisi listrik yang padam. Padahal puing-puing reruntuhan itu berserakan di mana-mana dan membuat kami terluka," bebernya.
Yah, gempa itu memberikan trauma yang cukup berat bagi warga setempat. Akhirnya, untuk menyelamatkan diri masyarakat setempat termasuk Zahrah beserta keluarganya memilih untuk tidak tinggal di dalam rumah. Mereka takut gempa susulan yang akan menghancurkannya.
Akhirnya, Zahrah dan keluarganya memilih untuk tinggal di pengungsian. Meski dengan listrik padam dan bantuan terbatas, Zahrah yakin dengan solidaritas kolektif korban gempa semuanya akan baik-baik saja.
"Saya tidak punya pilihan lain. Yah kami tinggal di pengungsian yang letaknya di belakang rumah. Meskipun hidup tanpa listrik. Saya dan orang tuaku mesti bertahan hidup dengan bersolidaritas," ungkapnya.
"Di sisi lain, sebenarnya saya membutuhkan listrik, karena kebutuhan Handphone (HP). Kalau ada HP pasti kan kami bisa cepat untuk mendapatkan bantuan. Yah setidak-tidaknya kita tidak hidup gelap-gelapan seperti waktu itu," tambahnya