FPI
Lembaga Bentukan Soeharto Anggap Mahkamah Internasional Bakal Tolak Kasus Penembakan 6 Laskar FPI
Komnas HAM yakin laporan FPI ke Mahkamah Internasional bakal ditolak. Lembaga bentukan Presiden Soeharto anggap Indonesia tak ratifikasi Statuta Roma.
TRIBUN-TIMUR.COM- Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) yakin Mahkamah Internasional tak respon pelaporan kematian enam laskar Front Pembela Islam ( FPI).
Komnas HAM adalah lembaga negara bentukan Presiden Soeharto pada tahun 1993.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM adalah sebuah lembaga mandiri di Indonesia yang ditempatkannya di lembaga negara lainnya dengan fungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pengawasan, dan mediasi terhadap masalah-masalah hak asasi manusia.
Baru-baru ini, pengacara FPI melaporkan penembakan laskar FPI ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.
Ketua Tim Advokasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Hariadi Nasution mengklaim Mahkamah Pidana Internasional sudah menerima laporan dan berkas terkait insiden penembakan 6 laskar FPI oleh kepolisian RI.
Tak hanya insiden penembakan 6 Laskar FPI, Ombat menuturkan pihak ICC juga sudah menerima berkas laporan dugaan pembunuhan oleh aparatur keamanan Indonesia dalam peristiwa demonstrasi 21-23 Mei 2019 lalu.
Melalui Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menyebutkan alasannya sehingga laporan itu tak akan diterima.
Indonesia bukan negara anggota Mahkamah Internasional karena belum meratifikasi Statuta Roma.
"Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan negara anggota (state party)," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021).
Adapun pelaporan kasus ini ke Mahkamah Internasional dilakukan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) atas tewasnya enam laskar FPI yang digawangi Amien Rais dan koleganya.
Pelaporan ini berangkat dari kekecewaannya atas temuan Komnas HAM dalam kasus ini.
Taufan menjelaskan, Mahkamah Internasional lahir sebagai complementary untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma.
Ia menyatakan, Mahkamah Internasional bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara.
Dengan demikian, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi "unable" dan "unwilling".
Sesuai Pasal 17 Ayat (3) Statuta Roma, kondisi "unable" atau dianggap tidak mampu adalah suatu kondisi di mana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional secara menyeluruh ataupun sebagian.