LBH Makassar
Sepanjang 2020 LBH Makassar Dampingi 20 Kasus Pelanggaran Hak Sipil & Politik
Sepanjang Januari hingga Desember tahun 2020, LBH Makassar menerima pengaduan atau permohonan bantuan hukum sebanyak 20 kasus
Penulis: Alfian | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Di tengah situasi Indonesia menghadapi ancaman wabah Pandemi Covid-19, praktik pelanggaran HAM masih terus dialami warga, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan.
Sepanjang Januari hingga Desember tahun 2020, LBH Makassar menerima pengaduan atau permohonan bantuan hukum sebanyak 20 kasus yang terkait langsung dengan pelanggaran Hak Sipil dan Politik.
Dari 20 pengaduan yang diterima, diantaranya 13 kasus Kekerasan Aparat, lima kasus Kekerasan tersebut diantaranya merupakan dampak dari pemberangusan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi.
Selain itu, 7 kasus lainnya berkaitan dengan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, tanpa kekersan oleh Aparat, sehingga terdapat total 12 kasus Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi.
Kasus-kasus tersebut melibatkan beberapa aktor sebagai pelaku, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Aktor tersebut diantaranya, Aparat Kepolisian, Perusahaan, Organisasi Masyarakat (Ormas), Pimpinan Kampus dan warga Sipil,” kata Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir, via rilis, Selasa (29/12/2020).
Berdasarkan aktor yang terlibat, Aparat Kepolisian menjadi aktor dominan dalam pelanggaran yang berkaitan dengan Hak Sipol dan Politik.
Dimana dalam catatan LBH Makssar berdasarkan permohonan/pengaduan yang diterima, aparat kepolisian terlibat secara langsung dalam 13 kasus.
Baik dalam Kekerasan dan juga pelanggaran Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi.
Kekerasan Aparat
Kepolisian sebagai institusi negara yang memikul kewajiban menjamin terpenuhi dan terlindunginya HAM dalam penegakan hukum.
Hal ini melahirkan upaya-upaya reformasi di internalnya kepolisian.
Salah satunya dengan lahirnya Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI.
Jika dilihat isinya Perkap ini sangat ideal, bahkan lebih baik daripada UU dan KUHAP yang berlaku saat ini di Indonesia.
Perkap ini berisi 62 pasal dan memuat berbagai instrumen HAM baik nasional maupun internasional sebagai dasar pertimbangan (konsiderans), dan berfungsi sebagai standar etika pelayanan dan code of conduct bagi kepolisian.