OPINI
Introspeksi Bulan Bahasa di Era Krisis Moral dan Etika Generasi Bangsa
OPINI: Introspeksi Bulan Bahasa di Era Krisis Moral dan Etika Generasi Bangsa oleh Erlan Saputra Mahasiswa PBSI FBS UNM
Penulis: CitizenReporter | Editor: Suryana Anas
Berangkat dari komitmen para pemuda Indonesia yang selanjutnya diberi label Sumpah Pemuda. Pada butir ketiga dalam Sumpah Pemuda merupakan maklumat serta iktikad bahwa bahasa Indonesia adalah salah satu ikon persatuan bangsa Indonesia.
Kemudian Bahasa Indonesia disempurnakan ke dalam UUD 1945 di era kemerdekaan, sebagai bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga bulan Oktober dijuluki juga sebagai bulan bahasa.
Setelah 92 Tahun berlalu (1928-2020) Sumpah Pemuda kian dikumandangkan tiap saat, apakah Sumpah Pemuda betul-betul diterapkan dengan baik, seperti pada poin ke-3 bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu? Atau hanyalah sekadar jargon semata?
Bagaimana bentuk pengaplikasiannya sudah dijalankan sesuai dari isi naskah Sumpah Pemuda? Saya rasa wujud pengimplementasian bahasa Indonesia belum sepenuhnya diterapkan oleh generasi sekarang.
Inilah yang menjadi tantangan pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam mengelola negara demi mencerdaskan kehidupan rakyat.
Sebagai pemimpin negara maupun perangkat pemerintah lainnya, sepatutnya selalu memberi edukasi kepada rakyat.
Namun, ada banyak pemimpin di negeri ini sampai keperangkat pemerintah pun tidak luput dari sebuah problem kalut akan moral dan etika.
Padahal mereka adalah figur yang seharusnya menjadi panutan rakyat.
Sebagai pemimpin yang baik tentunya akan mengamalkan ilmu dan pengetahuannya, termasuk titik fundamental kecakapan berbahasa Indonesia.
Namun, bagaimana mungkin seorang pemimpin dijadikan sebagai suri teladan serta turut mensyaratkan masyarakat untuk mengonsumsi bahasa Indonesia yang baik dan benar andai kata dirinya sendiri bukanlah sebuah cerminan yang baik.
Etika berbahasa sangat patut diterapkan oleh pemimpin di negeri ini, karena rakyat sangat pandai menilai mana bahasa yang santun, mempunyai etika dan estetika, karena bahasa seorang pepimpin itu pastinya tidak sepadan dengan bahasa pedagang kaki lima.
Disamping itu, kerusakan moralitas bagi penanggung jawab di negari ini hingga memicu terjadinya penyelewengan jabatan.
Jadi tidak heran jika publik berpendapat bahwa korupsi itu berakar dari penguasa negeri ini, sampai tumbuh berkecamuk.
Sebagai negara demokrasi, kita sangat bebas berpendapat memberi kritikan dan saran kepada para pemimpin-pemimpin adalah salah satu amanah dari reformasi.
Sejatinya pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang bisa menerima segala kritikan dan aspirasi dari rakyat, bukan pemimpin yang membenturkan rakyatnya dengan Undang-undang penghinaan (ITE).