Siapa Siap Jaminkan Dirinya Bukan Gatot Sampai Mau Temui Jokowi Agar Bebaskan 2 Petinggi KAMI?
Dia mengaku sangat mengenal kedua petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) tersebut, di mana keduanya sangat mencintai Indonesia
TRIBUN-TIMUR.COM - Dua petinggi KAMI yakni Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat yang ditangkap Mabes Polri, dinilai tidak tepat dijadikan tersangka.
Keduanya bahkan diminta agar dibebaskan, dan ada yang siap menjadi jaminan.
Siapa sosok itu? Bukan Gatot Nurmantyo
Dialah Arief Poyuono. Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu
Arief mengaku sangat mengenal kedua petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) tersebut, di mana keduanya sangat mencintai Indonesia dan selalu mengedepankan persatuan nasional.
Baca juga: Kritikan KAMI Ormas Gatot Nurmantyo Dianggap Sebelah Mata Pemerintah, Mahfud MD : Gak Ada yang Baru
"Saya dan teman-teman akan mencoba meminta Presiden Jokowi untuk memerintahkan Kapolri (Idham Azis) membebaskan mereka."
"Dan saya pun siap memberikan jaminan agar dibebaskan," ujar Arief kepada wartawan di Jakarta, Jumat (16/10/2020).
Menurut Arief, Syahganda dan Jumhur menjadi bagian orang yang berjasa atas lahirnya sistem negara demokratis, yang akhirnya mampu melahirkan pemimpin dari kalangan bawah seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Saya juga memohon dan mengajak pada Ibu Megawati Sukarnoputri yang merupakan tokoh demokrasi, untuk ikut juga mengimbau Kapolri membebaskan mereka semua," papar politikus Partai Gerindra itu.
Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap alasan menciduk tiga deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yakni Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.
Baca juga: Ada Lagi Bantuan BLT UMKM dari Facebook Rp 12,5 Miliar, Masih Bisa Juga Daftar BLT Rp 2,4 juta
Syahganda Nainggolan ditangkap karena cuitan di akun Twitter pribadinya.
Diduga, unggahan tersebut berisi konten berita bohong alias hoaks.
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyebut Syahganda menyebarkan gambar dan narasi yang tidak sesuai kejadian di akun Twitternya.
Gambar yang disebarkan terkait aksi unjuk rasa buruh menolak Omnibus Law.
"Tersangka SN, dia menyampaikan ke Twitter-nya, yaitu salah satunya menolak Omnibus Law, mendukung demonstrasi buruh, belasungkawa demo buruh."
"Modusnya ada foto, kemudian dikasih tulisan, keterangan tidak sama kejadiannya."
"Contohnya ini. Ini kejadian di Karawang, tapi ini gambarnya berbeda," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Argo mengatakan ada sejumlah gambar yang dibagikan oleh Syahganda tidak sesuai kejadiannya.
Menurutnya, motif tersangka membagikan gambar itu di sosial media, karena mendukung aksi buruh.
"Ada beberapa dijadikan barang bukti penyidik dalam pemeriksaan. Juga ada macam-macam, tulisan dan gambarnya berbeda."
"Dan motifnya mendukung dan men-support demonstran dengan berita tidak sesuai gambarnya," terangnya.
Syahganda dijerat pasal 28 ayat 2, 45A ayat 2 UU ITE, pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU 1/1946. Ancaman hukumannya 6 tahun penjara.
Jumhur Hidayat
Jumhur Hidayat ditangkap terkait ujaran kebencian melalui akun sosial media Twitter.
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyampaikan, Jumhur diduga menyebarkan ujaran kebencian terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Salah satu cuitan yang dipersoalkan adalah tudingan regulasi itu titipan Tiongkok.
"Tersangka JH di akun twitternya menulis salah satunya UU memang untuk primitif."
"Investor dari RRT dan pengusaha rakus."
"Ada beberapa tweetnya. Ini salah satunya," papar Argo.
Menurutnya, unggahan tersebut diklaim menjadi pemicu adanya kerusuhan saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di daerah.
Dia bilang ungkapan itu merupakan hasutan kepada masyarakat.
Ia juga menyampaikan unggahan itu disebutkan memuat berita bohong dan mengandung kebencian berdasarkan SARA.
"Akibatnya anarkis dan vandalisme dengan membuat kerusakan-kerusakan ini sudah kita tangani. Pola dari hasutan," jelasnya.
Dalam kasus ini, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa handphone, KTP, harddisk, hingga akun Twitter milik Jumhur.
Polisi juga menyita spanduk, kaus hitam, kemeja, rompi, dan topi.
Jumhur Hidayat dijerat pasal 28 ayat 2 kita juncto pasal 45A ayat 2 UU 19/2016 tentang ITE, dan pasal 14 ayat 1 dan 2, dan pasal 15 UU 1/1946. Ancamannya hukumannya 10 tahun penjara.
Anton Permana
Anton Permana ditangkap karena unggahannya di sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.
Dia melanggar pasal penyebaran informasi yang bersifat kebencian berdasarkan SARA.
Anton Permana menggunggah status yang menyebut NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia, di akun sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.
"Ini yang bersangkutan menuliskan di FB dan YouTube."
"Dia sampaikan di FB dan YouTube banyak sekali."
"Misalnya multifungsi Polri melebihi dwifungsi ABRI, NKRI jadi negara kepolisian republik Indonesia," papar Argo.
Anton Permana juga menggunggah status yang menyebutkan Omnibus Law sebagai bukti negara telah dijajah.
Selain itu, regulasi itu menjadi bukti negara telah dikuasai oleh cukong.
Menurutnya, unggahan itu sebagai bentuk penyebaran informasi bersifat kebencian dan SARA.
"Disahkan UU Cipta Kerja bukti negara telah dijajah. Dan juga negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru," beber Argo.
Dalam kasus ini, polisi menyita flashdisk, ponsel, laptop, dan dokumen-dokumen berisi screenshot dari media sosial.
Anton Permana dijerat pasal 45A ayat 2 juncto pasal 28 ayat 2 UU ITE serta Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 15 UU Peraturan Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946 dan juga Pasal 207 KUHP. Dengan ancaman penjara 10 tahun. (Seno Tri Sulistiyono)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Arief Poyuono Minta Jokowi Perintahkan Kapolri Lepaskan Deklarator KAMI, Siap Jadi Jaminan