UU Cipta Kerja
DAFTAR 8 Fakta dan Hoaks yang Beredar Soal Omnibus Law UU Cipta Kerja, Uang Pesangon hingga PHK
DAFTAR 8 Fakta dan Hoaks yang Beredar Soal Omnibus law UU Cipta Kerja, Uang Pesangon hingga PHK
Adapun permintaan buruh adalah, semua hak cuti buruh dikembalikan sebagaimana yang diatur dalam UU 13 tahun 2003.
5. Benarkah outsourcing di semua jenis industri dan dengan kontrak seumur hidup?
Informasi soal outsourcing yang diterapkan untuk semua pekerjaan juga dipastikan Kemenkominfo adalah berita bohong.
Menurut Kemenkominfo faktanya UU Cipta Kerja mengharuskan perjanjian kerja outsourcing mencantumkan perlindungan hak-hak pekerja dengan tetap memperoleh jaminan sosial pekerja.
Mengenai pekerja outsourcing yang memperoleh hak sama diatur di Pasal 66, ayat 2.
Sedangkan menurut Said, faktanya adalah outsourcing (pemborongan pekerjaan) bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan tanpa terkecuali.
Dia mengungkapkan, dalam Pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 outsourcing harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
- tidak menghambat proses produksi secara langsung.
"Tetapi di dalam omnibus law justru menghapus pasal 65 UU 13 tahun 2003 yang memberikan batasan terhadap outsourcing. Sehingga outsourcing bisa bebas di semua jenis pekerjaan," tutur Said.
Fakta yang lain menurutnya, dalam UU 13 Tahun 2003, outsouring hanya dibatasi di 5 jenis pekerjaan.
Sesuai dengan Pasal 66 Ayat (1) dijelaskan bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Hal itu dikecualikan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
"Tetapi dalam omnibus law, Pasal 66 Ayat (1) yang memberikan batasan mengenai pekerjaan yang boleh menggunakan pekerja outsourcing dihapus.
Artinya, semua jenis pekerjaan bisa di outsourcing.
Di sini akan terjadi perbudakan modern," katanya.
Said menjelaskan, di seluruh dunia penggunaan outsourcing lazim dibatasi jenis pekerjaannya agar tidak terjadi modern slavery.
Misalnya di Perancis, hanya boleh untuk 13 jenis pekerjaan yang menggunakan karyawan outsourcing dan tidak boleh seumur hidup.
Begitu pula di banyak negara industri lainnya.
Di Indonesia berdasarkan UU 13 Tahun 2003 karyawan outsourcing hanya boleh digunakan untuk 5 jenis pekerjaan.
"Negara harus hadir melindungi rakyatnya agar tidak terjadi perdagangan tenaga manusia melalui agen outsourcing," kata Said.
Menurutnya, ketika outsourcing dibebaskan berarti tidak ada job security atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia.
Hal itu menyebabkan hilangnya peran negara untuk melindungi buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.
Tahun 2020 jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 persen sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal.
Adapun permintaan KSPI adalah meminta outsourcing dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu dan tidak boleh seumur hidup atau kembali sesuai UU 13 Tahun 2003.
6. Benarkah status karyawan tetap akan dihilangkan?
Menurut Kemenkominfo di Pasal 89 disebutkan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Sehingga informasi mengenai status pekerja kontrak seumur hidup yang tidak ada batas waktu kontrak adalah hoaks.
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat menurut Kominfo.
Menanggapi hal itu Said mengatakan, dalam UU Cipta Kerja karyawan kontrak tidak lagi mempunyai batasan waktu.
"Sebagaimana bisa kita lihat di dalam perubahan pasal 59 UU 13 tahun 2003 di omnibus law, tidak lagi diatur mengenai berapa lama kontrak (PWKT) harus diberlakukan. Sehingga bisa saja terjadi PWKT seumur hidup," kata Said.
Menurut Said, jika hal itu diterapkan, maka buruh Indonesia tidak memiliki kepastian terhadap masa depan atau no job security.
Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi karyawan tetap, karena pengusaha cenderung akan mempergunakan karyawan kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja.
Menurut data hasil survei FSPMI bersama lembaga nirlaba Jerman FES di tiga propinsi, yaitu Jabar, Jatim, dan Kepulauan Riau, jumlah karyawan kontrak dan outsourcing adalah sebesar 60 persen hingga 75 persen.
Mereka terdiri atas pekerja tanpa kepastian kerja, upah rendah, tidak ada jaminan sosial.
Adapun permintaan KSPI adalah tetap harus ada batas waktu kontrak bagi pekerja kontrak atau PWKT, sehingga tidak membuka ruang bagi pengusaha untuk mengontrak buruh berulang-ulang tanpa ada pengangkatan menjadi karyawan tetap.
7. Benarkah Tenaga Kerja Asing bebas masuk? Menurut Kominfo, tidak benar bahwa UU Cipta Kerja mempermudah masuknya TKA.
Menurut Pasal 89 TKA wajib diverifikasi oleh pemerintah pusat.
Sedangkan menurut Said, faktanya dalam omnibus law menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin. Di dalam Pasal 42 Ayat (1) UU 13 tahun 2003 disebutkan bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Tetapi dalam omnibus law diubah dengan hanya memiliki pengesahan RPTKA.
Tidak lagi memerlukan izin seperti dalam aturan sebelumnya.
"Jelas hal ini akan mempermudah TKA masuk. Apalagi praktiknya, saat ini saja TKA unskill sudah banyak yang masuk," ungkap Said.
Adapun permintaan buruh adalah mengembalikan pasal mengenai TKA sesuai dengan UU 13 Tahun 2003.
8. Apakah perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak?
Kominfo tidak menyebutkan soal ini.
Sementara itu Said mengatakan perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak dalam omnibus law tidak lagi dikategorikan batal demi hukum dan upah selama proses perselisihan PHK tidak dibayar.
Hal ini, menurutnya karena omnibus law menghapus pasal 155 UU 13 Tahun 2003 yang mengatur:
- Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum
- Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya
- Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
"Jika tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa PHK tanpa izin dari lembaga penyelesaian hubungan industrial adalah batal demi hukum dan tidak ada kewajiban untuk membayar upah hak lain selama proses perselisihan berlansung, PHK akan semakin mudah," kata Said.
Selain itu, Omnibus law juga mempermudah PHK, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 154A, khususnya Ayat 1 huruf (b) dan (i) yang mengatur pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: (huruf b) perusahaan melakukan efisiensi; (huruf i) pekerja/buruh mangkir.
Padahal sebelumnya, menurut Said Mahkamah Konstitusi sudah memberikan putusan bahwa PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen.
Dengan pasal ini, menurut said, bisa saja perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi meskipun sedang untung besar.
Selain itu, dalam omnibus law PHK bisa dilakukan karena buruh mangkir (tanpa dijelaskan berapa lama mangkir, sehingga bisa hanya 1 hari).
Padahal dalam UU 13 Tahun 2003 PHK karena mangkir hanya bisa dilakukan setelah mangkir 5 hari berturut-turut dan dipanggil minimal 2 kali secara tertulis.
Adapun permintaan buruh, semua hal yang mengatur mengenai PHK dikembalikan kepada UU No 13 Tahun 2003. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Simak, Ini 8 Hoaks dan Fakta yang Banyak Beredar soal Omnibus Law Cipta Kerja", Klik untuk baca: