Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

SIAPAKAH ORANG CELAKA ITU?

Sungguh, jangan sampai kita termasuk orang yang celaka. Hidup kita dengan segala perjuangan dan pergumulannya, adalah untuk sukses dan bahagia.

Penulis: CitizenReporter | Editor: Suryana Anas
Dok Pribadi Aswar Hasan
Dr Aswar Hasan, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Unhas 

Opini Oleh Aswar Hasan

Sungguh, jangan sampai kita termasuk orang yang celaka.

Hidup kita dengan segala perjuangan dan pergumulannya, adalah untuk sukses dan bahagia.

Tentu, lebih khusus lagi sebagai hakekat (inti) dari segala upaya kita tersebut, adalah agar selamat dunia dan/hingga akhirat.

Keselamatan dunia akhirat tersebut, termaktup dalam doa pamungkas (doa sapu jagat): “Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina 'adzabannar.

Artinya: Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka.

Doa inilah yang seharusnya menjadi orientasi hidup dan kehidupan kita, sehingga untuk mencapainya, kita seharusnya mempersiapkan bekal amal kebajikan dilandasi kewajiban ibadah sebagai makhluk ciptaan- NYA.

Namun, dalam praktik kenyataannya, manusia itu adalah makhluk yang lalai lagi sombong.

Di sinilah pentingnya untuk saling menasehati, mengingatkan dengan berbagai variannya, hingga dalam bentuk kritik yang konstruktif (Al-Mauizhah Hasanah).

Lantas bagaimana halnya dengan kritik yang destruktif dengan segala variannya, yang modus operandinya telah mewujud dalam berbagai manifestasinya.

Pernyataan, atau pesan komunikasi yang memojokkan, menterhinakan secara sepihak, terlebih jika disampaikan dengan nada mengumpat sebagai mana biasanya sebagian tingkah laku para Buzzer (pendengung) untuk menyudutkan seseorang atau kelompok tanpa fakta dan data yang mendukung bahwa apa yang dikatakannya itu benar.

Tingkah mereka itu, patut dicela. Betapa tidak, karena perbuatan mereka yang kerap mencela itu, adalah perbuatan tercela.

Al Qur'an dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa mereka para pengumpat dan pencela itu (“diantara ciri yang negatif/menyimpang dari kaum Buzzer”?) adalah manusia- manusia celaka. “ Kecelakaanlah besar bagi setiap pengumpat (humazah) lagi pencela (lumazah) ( QS. Al Humazah:1).

Ayat tersebut diwali dengan kata Wayl yang berarti sebuah peringatan dalam bentuk ancaman keras, bencana, dan adzab yang pedih (Tafsir as-Sa’di).Secara singkat, kata wayl dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘celaka’. Yaitu kecelakaan bagi para humazah.

Dalam tafsir Al Mishbah volume 15 Karya Prof. M. Quraish Shihab diurai bahwa kata al humazah terambil dari kata al hamz yang berarti tekanan dan dorongan yang keras.

Pengertian itu kemudian berkembang sehingga diartikan mendorong orang lain dengan lidah (ucapan) atau dengan kata lain menggunjing, mengumpat, atau menyebut sisi negatif ( mencela) orang lain tidak dihadapan yang bersangkutan.

Sementara kata lumazah pada ayat yang sama terambil dari kata al- lamz kata yang digunakan untuk menggambarkan ejekan yang mengundang tawa.

Sebagian ulama berpendapat bahwa al- lamz adalah mengejek dengan menggunakan isyarat mata atau tangan yang disertai dengan kata-kata yang diucapkan secara berbisik, baik dihadapan maupun dibelakang orang yang diejek. Kalau di media sosial boleh jadi itu bisa dianalogikan sama dengan simbol- emotion-.

Dengan demikian, humazah dipahami sebagai cemoohan dengan lisan dan ucapan. Sedangkan lumazah merupakan bentuk hinaan dengan isyarat mata, tangan dan sebagainya. Namun, kedua perilaku buruk itu, sama berujung kepada adu domba dan perpecahan, sampai Rasulullah SAW mengancam dalam sebuah hadits; “tidak akan masuk surga penghasut dan pengadu domba.” (Atabik, Tafsir Tazkiyah,2009).

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Jamil bin Amir al Jumbi, seorang tokoh musyrik yang selalu mengejek dan menghina orang.

Berdasarkan sebab turunnya surah yang dikemukakan dalam riwayat, surah ini jelas menggambarkan kebiasaan buruk orang Arab Jahiliyah.

Para mufassir mengemukakan bahwa hinaan, tuduhan, serta fitnah yang berujung pada ancaman dan tindakan salim menjadi makanan sehari-hari Rasulullah SAW.

Beserta para sahabatnya. Dengan turunnya surah ini, Allah SWT menginginkan kehidupan masyarakat Muslim yang penuh kasih sayang, lapang dada dan toleran yang jauh dari sifat tercela yang menjadi kebiasaan buruk pada periode jahiliyah (Atabik,2009).

Meskipun demikian, perlu dipahami, bahwa maksud pesan surah Al humazah tersebut berlaku secara umum. Hal itu didasarkan kaidah Al ibratu bi umumi lafdz la ni khushushis sabab ( yang di jadikan dasar adalah umumnya ayat, bukan khususnya sebab).

Sayyid Quthb penulis tafsir Fi shilalil Qur'an menyatakan bahwa ini adalah gambaran manusia di era jahiliyah yang dihadapi Rasulullah SAW pada permulaan dakwahnya. Sebuah gambaran tentang jiwa manusia yang lemah dan hina karena tidak memiliki iman dan kehormatan diri yang jelas sangat dibenci oleh Islam.

Terhadap para pencela -para “haters” dan para “buzzer” yang menohok tanpa fakta itu,- diancam secara pasti akan dilemparkan ke neraka al Huthamah. Yaitu neraka yang amat menghancurkan lagi membinasakan, sebagaimana pada ayat 6-9 di Surah al Humazah dikatakan: “Api Allah yang naik sampai ke hati. Sesungguhnya ia -atas mereka- ditutup (rapat-rapat). Pada tiang-tiang yang sangat panjang.”

Sekadar menggambarkan betapa pedih dan ngerinya al- Huthamah bagi para pencela dan pengumpat, M.Quraish Shihab dalam tafsirnya, menjelasakan: “ al- Huthamah adalah api Allah yang naik secara sempurna sampai ke hati semua pendurhaka.

Jangan duga ada diantara mereka yang dapat menghindar, jangan juga duga bahwa api itu mematikan mereka karena sesungguhnya ia, yakni tempat api itu, dikobarkan atas mereka secara khusus ditutup rapat-rapat sedang para tersiksa itu diikat pada tiang-tiang yang sangat panjang.
Narullah.

Dinisbahkannya api itu kepada Allah memberi kesan bahwa ia bukan api biasa, tetapi ia api yang diciptakan Allah khusus untuk tujuan tertentu.

Api itu baik sampai ke hati, menggambarkan bahwa api itu membakar sekujur tubuh sang durhaka hingga akhirnya membakar hatinya.

Hatinya yang dibakar karena menjadi wadah kemusyrikan dan menampung segala kedurhakaan.

Demikianlah betapa negeri dan pedihnya balasan bagi para pengumpat dan para pencela yang akhir-akhir ini marak di media sosial.

Jika hukum dunia tak mampu menjeratnya karena lemahnya hukum, atau karena para pencela dan pengumpat itu di backup oleh kekuasaan, maka yakin dan pasti, di akhirat kelak mereka takkan lolos.

Percayalah bahwa kita semua bakal ke sana. Dan, disanalah kita menemukan pembalasan untuk keadilan yang seadil-adilnya.

Betapa tidak karena diakhirat tidak akan ada praktik suap, sogok, oligarki, nepotisme, dinasti, dan sejenisnya, yang selama ini merusak tatanan keadilan kehidupan kita. Wallahu A'lam Bishawwabe.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved