Guru Honorer
Kisah Guru Honorer di Pulau Bahuluang hingga Belajar Daring Selama Pandemi, Arti: Makasih Telkomsel
Namanya Sukarti. Orang memanggilnya Arti. “Hidup adalah pilihan, maka memilihlah jika kamu ingin hidup,” begitulah prinsip hidup perempuan 31 tahun
Penulis: Arif Fuddin Usman | Editor: Arif Fuddin Usman
TRIBUN-TIMUR.COM - Namanya Sukarti. Orang memanggilnya Arti. “Hidup adalah pilihan, maka memilihlah jika kamu ingin hidup,” begitulah prinsip hidup perempuan berusia 31 tahun.
Pada tahun 2011, perempuan kelahiran 1989 itu menjatuhkan pilihan hidup sebagai tenaga pendidik di SMPN 7 Satu Atap Bontosikuyu, di Pulau Bahuluang, Desa Harapan, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan.
• Guru Honorer Tak Dapat Subsidi Gaji, Nadiem Makarim Akui Tak Bisa Gegara Data BPJS Ketenagakerjaan
• Guru Honorer Juga Terima BLT 600 Ribu dari Pemerintah, Serentak Ditransfer Akhir Bulan Agustus 2020
Kalimat tentang pilihan hidup tersebut, diceritakannya kepada penulis ketika ikut dalam sebuah pelatihan untuk guru daerah khusus di Makassar, akhir 2019 lalu. Tanpa sedikit keraguan pun, Arti melangkahkan kakinya ke sebuah desa yang terletak jauh dari kebisingan kota dan dunia luar.
Pulau Bahuluang adalah salah satu pulau yang terletak di ujung selatan Pulau Selayar yang berada di wilayah Kecamatan Bontosikuyu.
Pulau Bahuluang ini diakses dengan menggunakan kapal dari Pelabuhan Benteng ke Pelabuhan Barang-barang sekitar 40 km atau Pelabuhan Benteng ke Bone Taringan sekitar 45 km. Lama perjalanan sekira 3 jam jika kondisi cuaca bagus, ombak tenang.

Arti mengatakan, pilihannya menjadi tenaga pendidik honorer tersebut dengan mantap. “Kuhabiskan hari-hariku di tempat yang sangat asing bagiku. Kujalani segala aktifitas yang tak biasa kujalani sebelumnya,” ujarnya.
Perempuan yang bergelar sarjana pendidikan dari Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Makassar ini dibesarkan di tengah hiruk-pikuk keramaian dan modernisasi Kota Makassar.
Awal-awal di Pulau Bahuluang, Arti mengaku cukup sulit beradaptasi. Karena di Pulau Bahuluang semuanya serba sulit dan terbatas.
• Jadwal Lengkap UEFA Nation League Live TV Online Mola TV: Jerman vs Spanyol, Portugal vs Kroasia
• KABAR GEMBIRA Subsidi Kuota Gratis Siswa SD, SMP, SMA dari Nadiem Makarim, Dana Sudah Ada, Kapan?
Bagaimana tidak, untuk mendapatkan air layak konsumsi saja, Arti harus berjalan cukup jauh bolak-balik menenteng wadah air dari rumah ke sumber air tawar. Pun ia harus menumpang di kamar mandi/toilet warga karena fasilitas di tempatnya tinggal belum tersedia.
“Saat berjalan menuju sumber air, kaki terasa ringan melangkah. Tapi saat pulang, kaki sangat berat melangkah karena beban yang harus kubawa. Wadah yang tadinya kosong, kini berisi penuh air,” ceritanya.
Untuk menikmati listrik pun juga sulit. Listrik baru menyala dari tenaga mesin diesel selama 4 jam. Arti dan warga setempat harus menunggu malam tiba. Selebihnya malam dilewatkan di bawah temaram lampu pelita.

Jika ingin bepergian keluar pulau, wanita yang menempuh pendidikan di SMK 1 Selayar ini harus mengarungi laut yang tak dapat diterawang dasarnya.
“Jika ombak datang, angin menyapu kencang, dan langit gelap gulita, saya tak henti-hentinya berdo’a agar dapat selamat hingga kapal merapat ke dermaga tujuan,” kisahnya di masa-masa awal bertugas sebagai guru honorer.
Bagaimana dengan jaringan seluler? Arti mengatakan di Pulau Bahuluang memang ada sinyal telepon seluler, hanya saja jaringannya timbul tenggelam dibawa kencangnya terpaan angin barat atau angin timur.
• Kisah Guru Honorer Bertahan Hidup di Tengah Corona, Gaji Hanya Rp 200 Ribu, Bisa Buat Nabung Nikah
• Hari Pendidikan, Begini Harapan Fatimah, Guru Honorer Selama 13 Tahun di Makassar
“Sungguh masih susah sinyal. Hanya ada di spot-spot tertentu yang ada. Itu pun jaringannya sangat lemah. Mungkin BTS atau tower hanya satu, dipakai ramai-ramai,” tuturnya saat dihubungi awal Agustus 2020.
Jaringan seluler Telkomsel diakui Arti lumayan bagus di pinggir pantai. Tapi kalau sudah bergerak jauh pesisir, timbul tenggelam dan lebih banyak hilang.
“Jadi kalau mau berkomunikasi dengan keluarga atau teman, saya berlama-lama di pesisir. Itupun tidak semua pesisir ada jaringan,” jelas Arti.
Bapak Meninggal Dunia
Dalam sembilan tahun mengabdi sebagai guru honorer di SMPN 7 Kecamatan Bontosikuyu, pengalaman yang tak bisa dilupakan Sukarti. Adalah saat ia menerima kabar bapaknya sedang terbaring tak berdaya di rumah sakit di tahun2015.
Arti berniat pulang ke menjenguk dan menemani bapaknya selama dirawat. Namun bapaknya yang sudah berusia lanjut tak merestuinya pulang ke Benteng. “Jangan tinggalkan tanggung jawabmu di sana, kalau cuma mau menemani bapak”, lirihnya.
Namun Arti tidak mematuhi perintah bapaknya. Dia meminta izin ke kepala sekolah untuk pulang. Sesampainya di rumah sakit, Arti mendapati bapak memaksa pulang ke rumah meskipun masih membutuhkan perawatan.
Sehari saja Arti menikmati kebersamaan dengan bapak dan keluarga. Di hari kedua, setengah memaksa sang ayah memintanya kembali ke tempat tugas.
Karena tidak kuasa menolak, Arti pun berangkat ke tempat tugasku keesokan harinya. “Kata Bapak, aku tidak boleh berlama-lama meninggalkan peserta didikku yang sangat membutuhkan kehadiranku,” ujarnya.
Apalagi saat itu Arti diberi amanah oleh pihak sekolah untuk menggandakan di Kota Benteng dan membawa kembali soal Ujian Akhir Sekolah (UAS) ke Pulau Bahuluang.
Nah, saat perjalanan kembali ke Pulau Bahuluang, tiba-tiba hujan turun disertai angina kencang dan ombak bergulung. Nahkoda terpaksa mematikan mesin kapal karena jarak pandang yang sangat terbatas.
“Langit gelap seakan mengisyaratkan kami untuk berhenti sejenak. Seluruh penumpang basah kuyup karena terpaan hujan dan ombak,” kisah Arti dari ujung telepon.
“Aku berusaha merapikan pembungkus soal UAS yang aku bawa serta. Biarlah aku basah kuyup asalkan soal-soal itu tak ikut basah,” lanjutnya.
Tidak berselang lama, langit mulai berangsur-angsur cerah, nahkoda kembali menghidupkan mesin dan perjalanan kembali dilanjutkan.
“Kami pun tiba di tempat tujuan dengan selamat. Buru-buru kuangkat barang bawaanku termasuk soal UAS yang sejak tadi berlindung di bawah tas pakaianku,” lanjutnya.
Saat ujian berlangsung, tahun 2015, Arti aku menerima kabar bahwa kondisi bapaknya memburuk. Tapi Arti tak bisa berbuat apa-apa. Dia ada di seberang lautan. Perempuan berhijab ini harus menunggu hingga ujian akhir sekolah selesai untuk segera pulang dan menemani bapak.
Waktu yang dinanti untuk pulang tiba. Arti bergegas ingin menemui bapaknya di rumah sakit. Namun kenyataan lain. “Hari itu, Bapak menghembuskan nafasnya yang terakhir kali. Namun sebelum itu dia berpesan. “pergilah (pulanglah) nak.. besok Bapak akan meninggalkan rumah sakit ini,” ujar Arti menirukan pesan bapaknya.
Benar saja, bapak Arti meninggalkan tempatnya dirawat, tapi untuk selama-lamanya. Arti tidak mampu lagi membendung air matanya yang mengalir deras disertai penyesalan karena tidak menemani bapaknya di akhir hayatnya.
Mengajar Selama Pandemi
Sejak kepergian bapaknya, Arti terus membangun semangat, terutama sesuai pesan terakhir bapaknya untuk mengemban tugas sebagai guru di daerah terpencil.
Mulai tahun 2015 hingga 2019, dia merasa sendiri, rekan-rekan seperjuangan yang dulu menemani satu persatu meninggalkan pulau. “Mereka tidak lagi mengabdi bersamaku. Saya benar-benar sendiri menghabiskan malam tanpa cahaya. Mereka tidak mampu bertahan dengan penghasilan yang tidak memadai (sebagai guru honorer),” ujarnya.
Dan tantangan Arti mengajar di sekolah terpencil itu semakin berat di masa pandemi Virus Corona sejak Maret 2020 lalu. SMPN 7 Bontosikuyu mendapat edaran dari Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Selayar untuk meniadakan kegiatan belajar mengajar tatap muka di sekolah.
Meski di Pulau Bahuluang tak terdampak secara langsung dengan pandemi, tapi pihak sekolah wajib mengikuti peraturan. Kegiatan belajar mengajar diganti dengan belajar di rumah dan sesekali belajar online atau dalam jaringan (daring).
“Tantangan berat lagi saya dapati di masa pandemi ini. Saya dengan anak-anak belajar dari rumah ke rumah. Karena memang belum diizinkan kembali ke sekolah,” kata Arti.
Arti mengatakan, tantangan cukup berat dialaminya saat belajar dengan sistem daring. Dimana peserta didik di SMPN 7 Bontosikuyu rata-rata tak punya telpon seluler, apalagi yang berbasis android. “Kita ini anak-anak di pulau terpencil. Hanya sebagian kecil punya hp android,” jelasnya.
Lantas bagaimana caranya Arti mengajar sistem daring? Arti mendtaangi satu demi satu anak didik, lalu membuat kelompok-kelompok kecil yang diajarnya secara bergantian.
Masalah berikutnya adalah kuota data dan juga jaringan seluler terbatas di Pulau Bahuluang. Untuk kondisi ini, Arti meminimalisir pemakaian video conference. Cukup berbasis WhatsApp. Sesekali mengakses video. Lokasi belajar juga banyak di bagian pesisir. “Jaringan Telkomsel bagus di bagian pesisir,” jelasnya.
Meski semua serba terbatas, Arti enggan mengeluh. Ia menganggap semua yang dijalaninya adalah bagian dari proses kehidupan. Terutama kondisi belajar-mengajar terkini yang dilakukan di rumah, plus keterbatasan piranti HP dan jaringan seluler.
Arti hanya berharap, pandemi segera berlalu dan kepedulian pemerintah untuk sekolah-sekolah di pesisir dan terpencil seperti di SMPN 7 Bontosikuyu, Selayar.
“Semoga pandemi ini segera berlalu dan anak-anak bisa kembali ke sekolah. Semoga pemerintah tak melupakan kami di daerah terpencil ini. Untuk provider-provider, bangunlah pulau kami dengan jaringan seluler yang makin bagus,” pintanya.
Oh iya, Pulau Bahuluang ini merupakan salah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Selayar yang terkenal dengan keindahan dan pesona alam pesisir pantai. Anda bisa menikmati pemandangan pulau kecil dengan keindahan bawah laut yang memesona, selain itu airnya jernih. Pulau Bahuluang sangat cocok sebagai tujuan wisata.
Banyak turis mancanegara menjadikan Pulau Bahuluang sebagai destinasi wisata pantai pasir putih. Mereka rela menyewa kapal lengkap paket mobil rental di Kota Benteng dan di Pulau Bahuluang. Paket yang ditawarkan Rp 1,5 juta per orang, sudah lengkap dengan pemandunya.
"Fasilitas di Pulau Bahuluang belum memadai dan biasanya kita bawa tamu ke lokasi, cuma short trip. Saya berharap nantinya ada fasilitas seperti wc/kamar ganti dan tempat istirahat," kata Ahmad Rais, pemandu wisata di Kota Benteng, kepada Tribunselayar.com, Jumat (22/6/2018).
Ahmad Rais menjelaskan wisatawan yang berkunjung ke Pulau Bahuluang per bulannya rata-rata 40-50 wisatawan. Mereka wisatawan domestik maupun mancangera. Dari Jakarta, Jogja, Bandung, Makassar, Francis, Maroko, Afrika Selatan, Australia, Mexico, Bulgaria. (*)
Laporan Wartawan Tribun Timur, Arif Fuddin Usman